Sigit Pamungkas
Institusi kepolisian, kejaksaan, dan kehakiman merupakan pilar penting yang menentukan wajah keadilan.
Dapat
dikatakan, seandainya semua institusi negara rusak, selama ketiga
institusi itu masih dalam jalur yang tepat, maka keadilan masih akan
didapat. Pijar keadilan masih bisa bersinar.
Sebaliknya,
seandainya semua institusi negara baik, tetapi institusi kepolisian,
kejaksaan, dan kehakiman rusak, maka jangan berharap keadilan akan
didapat. Dengan berbagai cara, ketiga institusi itu akan berusaha
mempersoalkan berbagai hal sebagai melanggar hukum.
Yang benar
dapat berubah menjadi salah dan yang salah dapat dikonstruksi sebagai
sesuatu yang benar. Sebab, ketiga institusi itu memiliki otoritas untuk
mendefinisikan benar dan salah. Pada titik ini, hanya gerakan rakyat
yang dapat menegakkan keadilan.
Celakanya, institusi penegak
hukum kita berdiri di tempat yang tidak semestinya. Beberapa kasus besar
yang terekspos ke publik, seperti kasus Artalyta Suryani dan
perseteruan ”cicak lawan buaya”, memberi tahu kita bahwa lembaga-lembaga
itu berdiri kokoh di atas pihak yang seharusnya menjadi seterunya.
Bahkan,
saat bukti-bukti telah dipaparkan ke publik, absurditas pembelaan
terhadap pelaku kejahatan terus diekspresikan secara vulgar. Penegakan
hukum telah dimanipulasi begitu rupa sehingga keadilan hampir terbunuh
atas nama penegakan hukum.
Tidak sekadar mafia
Mafia
hukum adalah salah satu faktor yang sering disebut sebagai penyebab
institusi hukum tidak setia membela keadilan. Pemerintahan Susilo
Bambang Yudhoyono telah menyadari masalah ini. Dalam program 100 hari
pemerintahannya, pemberantasan mafia hukum menjadi salah satu prioritas.
Mafia
hukum ini bekerja sebagai jejaring yang mengatur dan memperdagangkan
perkara serta sampai pada menentukan bentuk putusan. Nasib keadilan
ditentukan bagaimana mafia hukum berpikir tentang hukum. Sebagai sebuah
jaringan, mafia hukum bergerak diam-diam. Kerahasiaan amat dijaga, tidak
hanya dari intipan publik, tetapi juga dari kolega mereka dalam korps
penegak hukum.
Sayang, pencermatan terhadap keluasan dan
kedalaman kerusakan hukum membawa kita pada kesimpulan berbeda. Perilaku
menyimpang dari aparat hukum tidak hanya berlangsung di tingkat pusat,
tetapi juga tingkat bawah. Ia juga berlangsung tak sekadar di wilayah
tertentu, tetapi mewabah di semua tempat.
Artinya, penyimpangan
itu sebenarnya sudah menjadi perilaku institusi, bukan sekadar jejaring
mafia. Ia adalah normalitas institusi, bukan anomali. Ia tak bekerja
sembunyi-sembunyi, tetapi telah menjadi ritme dari institusi hukum itu
sendiri. Karena itu, menjadi mimpi belaka jika berharap adanya kontrol
internal atas perilaku yang menyimpang dari institusi-institusi penegak
hukum.
Selain itu, kukuhnya ketidaksetiaan institusi hukum dalam
membela keadilan didukung institusi lain di luar institusi hukum yang
merasa lebih nyaman dengan kerusakan institusi hukum. Individu-individu
korup di jajaran eksekutif, birokrasi, dan parlemen menjadi bagian
penting dalam melanggengkan kebobrokan institusi hukum. Sikap diam
parlemen terhadap isu pemberantasan korupsi dan tepuk tangan meriah atas
penjelasan Kepala Polri tentang konflik ”cicak melawan buaya”
mengindikasikan hal itu.
Para koruptor di parlemen dan eksekutif
justru akan terancam dengan institusi hukum yang kuat. Karena itu, jalan
terbaik agar mereka tetap selamat adalah membiarkan normalitas
penyimpangan institusi-institusi hukum. Dengan cara itu, terjadi
pengaruh timbal balik. Kerusakan institusi hukum memberi nilai strategis
bagi individu-individu korup di jajaran birokrasi, eksekutif, dan
parlemen.
Karena itu, menjadi tidak aneh jika mereka yang duduk
di eksekutif dan parlemen akan selalu menjadi pembela pertama atas
absurditas institusi hukum dalam memberantas korupsi.
Memperkuat anomali
Dalam
kerangka itu, oleh institusi hukum lainnya KPK dipandang sebagai
anomali. Anomali atas kesetiaan institusi-institusi hukum konvensional
yang kukuh berpihak pada ketidakadilan. Oleh institusi hukum
konvensional, kehadiran KPK tidak sekadar dianggap mengurangi
kewenangan. Ia juga tidak sekadar rivalitas kewenangan.
Lebih
dari itu, kehadiran KPK dianggap sebagai institusi yang akan membunuh
normalitas perilaku mereka. Institusi-institusi itu menempatkan KPK
sebagai musuh, bukan mitra. Maka, tak aneh jika antusiasme dari
institusi-institusi hukum dan individu-individu korup amat tinggi dalam
melemahkan KPK.
Di institusi-institusi negara, kini KPK
hampir-hampir tak ada pembelanya. Kalaupun ada, jumlahnya amat terbatas.
Rakyatlah kini tumpuannya. Dalam konteks itu, terbayangkan terjadi
repetisi gerakan 1998. Gelagat itu sudah ada. Kapan akan segera
membesar?
Oleh :
Sigit Pamungkas Dosen Jurusan Ilmu Pemerintahan Fisipol UGM
_______________________________________________________________________________
sumber: http://opinikompas.blogspot.com
Oleh :
Sigit Pamungkas Dosen Jurusan Ilmu Pemerintahan Fisipol UGM
_______________________________________________________________________________
sumber: http://opinikompas.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar