Membanjirnya
bursa bakal calon anggota legislative menjadi bukti kuat bahwa jabatan
publik masih tetap memancarkan daya pesona. Di jajaran eksekutif,
jabatan publik bahkan jauh lebih menggoda. Mereka yang sudah lama “duduk
manis” sebagai anggota parlemen bukan jaminan tak tergoda untuk tidak
mencalonkan diri sebagai kepala daerah. Dalam istilah Jawa, jabatan
publik selalu membuat orang kemaruk (selalu merasa kurang alias tidak
pernah merasa puas dengan apa yang ada). Untuk memenuhi ambisinya,
mereka tak segan menggelontarkan jutaan, bahkan miliaran rupiah sebuah
nominal yang terkadang tak masuk akal dibandingkan dengan pendapatan
resmi sebagai anggota DPR atau kepala daerah. Mereka sadar betul bahwa
dalam konteks pilkada, nothing is free lunch. Tidak ada yang
gratis dalam dunia politik. Soal bagaimana cara mendapatkan dan
mengembalikan modal awal, itu tidaklah penting alias bisa dipikirkan
belakangan. Yang penting Cuma satu jadi pejabat publik.
Menaklukkan atau ditaklukkan
Mereka
juga tidak gentar menghadapi ancaman penjara setelah menjabat. Bagi
mereka, penjara menjadi tantangan tersendiri selama menjalani masa
jabatan. Mereka sangat mafhum bahwa menduduki jabatan publik di era
demokrasi berarti menjejakkan satu kaki kepenjara. Satu kakinya lagi
tergantung dewi keberuntungan, seraya berdoa semoga selamat hingga akhir
masa jabatan. Di Republik ini, menjabat adalah segala-galanya. Bagi
kebanyakan orang, menjabat seakan menjadi satu-satunya tafsir
kebermaknaan hidup di dunia ini. Setelah itu, mati. Begitu kuatnya
cengkeraman mentalitas menjabat di kalangan masyarakat, seakan tidak ada
posisi lebih tinggi selain menduduki jabatan publik.
Menjadi
guru, dosen, petani, artis, pelawak, wartawan, agamawan, atau profesi
apa pun di dunia ini belumlah cukup sebelum seseorang menjadi pejabat
publik. Dalam perspektif Abraham Maslow, menjadi pejabat publik
menempati hierarki tertinggi dari seluruh kebutuhan manusia: aktualisasi
hidup. Pertanyaannya, ada apa dengan jabatan publik ? Mengapa jabatan
publik begitu mempesona ? Jawaban terhadap pertanyaan tersebut dirangkum
oleh Vaclav Havel, mantan Presiden Cekoslowakia, ke dalam satu kata :
kuasa (power). Ya, kuasa (lebih tepatnya kekuasaan) adalah kata benda
abstrak yang memiliki dampak begitu dahsyat dalam kehidupan ini. Godaan
kuasa dapat membutakan banyak orang, dan penyalahgunaan atasnya terbukti
telah merugikan banyak orang, bahkan merenggut banyak nyawa tak
berdosa. Kata Havel-sebagaimana dikutip di awal tulisan ini di dalam
kuasa terdapat kekuatan yang begitu menggoda, tetapi delusive, palsu,
sekaligus berbahaya. Jika seorang penggenggam kekuasaan tidak mampu
menaklukkannya di bawah bimbingan kesadaran nurani dan akal budinya,
maka ia pun akan terbutakan olehnya, bahkan akan dilumatnya. Inilah yang
terjadi pada sebagian besar mantan pejabat kita yang sekarang ini
tengah menjadi pesakitan dipengadilan akibat penyalahgunaan kekuasaan.
Dan inilah gambaran nyata ketika kekuasaan tidak dikelola secara benar,
amanah dan akuntabel. Saat ini terdapat 293 kepala daerah yang masuk
penjara akibat berperkara hukum. Menurut rilis Kemendagri, tak lama lagi
menembus angka 300 orang! Menggenggam kekuasaan tak ubahnya memelihara
seekor rubah atau serigala, binatang buas yang dikenal licik dan ganas.
Ia patuh pada perintah majikannya sepanjang kebutuhannya terpenuhi,
tetapi ia juga bisa menyerang dan memakan sang majikan kapan saja,
terutama ketika lapar atau kebutuhannya tak terpenuhi. Analogi ini
mengambarkan betapa ganas dan buasnya kekuasaan jika aktualisasinya
tidak dibimbing oleh kewaspadaan dan tak dikelola secara produktif bagi
kebajikan, kemaslahatan dan kesejahteraan bersama.
Tiga Jenis Kuasa
Kuasa,
menurut Anthony Giddens (The Constitutional of Society, 1984; 162),
mewujud ke dalam dua bentuk : (1) kuasa alokatif dan (2) kuasa
otoritatif. Jika kuasa alokatif merujuk kapasitas untuk menguasai sumber
daya “keras” yang serta bendawi, kuasa alokatif adalah kemampuan
menguasai sumber daya institusional seperti lembaga pemerintahan. Dalam
perspektif Machiavellian, politik keseharian hanya didorong libido untuk
menguasai kedua jenis kuasa ini. Sebab, apa pun ideologi dan platform
yang dicanangkan sebuah parpol tidak akan mempengaruhi tujuan akhir dari
seluruh sepak terjangnya di atas panggung politik-kekuasaan, yakni
penguasaan atas keduanya.
Melengkapi
kedua jenis kuasa di atas, Pierre Bourdieu (Language and Symbolic
Power, 1991: 163) mengajukan jenis kuasa yang lain, kuasa simbolik.
Kuasa jenis ini tercermin dalam setiap posisi atau jabatan publik
sebagai simbol yang memancarkan aura, wibawa atau makna bagi setiap
orang yang menggenggamnya, artinya, orientasi dan motivasi seseorang
untuk menjadi pejabat tidak melalui material. Kepuasan seseorang ketika
menjabat tidak bisa diukur dari seberapa banyak harta benda atau materi
yang telah dikuasai, tetapi ketika ia dipanggil “Pak RT”, “Pak
Bupati”,”Pak Gubernur”, dan semacamnya. Dalam konteks ini, panggung
politik nasional jelas menyediakan sumber daya berlimpah untuk
diperebutkan individu dan parpol. Pembacaan Machievallian akan segera
mengendus adanya hasrat libidinal untu mengusai sumber daya ini.
Realitas APBN adalah ceteris paribus, sebuah daya tarik utama
yang menggerakkan hampir seluruh gerak politik keseharian kita. Pada
2013, APBN kita bernilai Rp. 1.657,9 triliun, naik sekitar 7 persen dari
nilai APBN 2012. Dengan harga emas Rp. 500.000 per gram, nilai ini
setara dengan 3.316 ton atau 167 kontainer emas ! Sebuah bilangan yang
sangat fantastis, lebih dari cukup untuk menyejahterakan setiap rakyat
Indonesia!
Bagi
para “penyambung nasib” di kantor-kantor parlemen atau lembaga
pemerintahan, pertanyaan yang harus direfleksikan secara jernih adalah :
“apa yang kau cari ? Pengabdian kepada negeri ini ? No way! Omong
kosong! Saat ini panggung politik-kekuasaan tidak menyediakan lahan
pengabdian karena sudah habis” dikapling” oleh para pendiri bangsa ini.
Biarlah kosakata pengabdian menjadi bagian dari masa lalu yang tidak
relevan lagi untuk masa sekarang”. Sebenarnya rakyat maklum belaka jika
mereka berdalih mencari penghidupan melalui jabatan public. Bahasa
eufemistiknya, profesionalisme. Jika terpilih sebagai anggota DPR atau
kepala daerah, anggaplah jabatan yang mereka emban sebagai pilihan
profesi. Mereka digaji oleh Negara sebagai akibat dari jabatan yang
diemban. Akan tetapi, mereka harus bekerja sesuai dengan gaji yang
diterima. Terpenting lagi jangan korupsi. Karena lambat atau cepat,
rakyat akan mwnghukum siapa pun yang menyalahgunakan kekuasaan.
________________________________________________________________________________
Sumber :Kompas ________________________________________________________________________________
Tidak ada komentar:
Posting Komentar