Kamis, 27 Juni 2013

POLITIK TANPA KEPUTUSAN



      Dibalik sengkarut yang bertele-tele soal kesehatan, efisiensi, dan postur APBN, terselip sebuah pertanyaan penting. Apakah politik sungguh-sungguh hadir saat rapat paripurna di parlemen beberapa waktu lalu ? Sungguhkah ada keputusan politik yang dijatuhkan ? Atau, rapat tersebut justru membuktikan betapa politik sudah disandera sedemikian rupa oleh ekonomi.
Manajerialisasi Politik
Ekonomi sejatinya bukan penghuni ruang public. Dia adalah oikos (rumah tangga) dan nomos (hukum). Ekonomi tak lain adalah aturan main dalam mengelola rumah tangga. Dia sepenuhnya domestik. Politik jauh lebih mulia karena bertempat di ruang public yang heterogen, ganjil, dan tak terduga. Politik adalah seni hidup bersama di ruang public, lengkap dengan segala kompleksitasnya. Keputusan politik pun jauh lebih rumit dan sublime ketimbang ekonomi. Keputusan politik tidak semata soal alokasi belanja rumah tangga. Keputusan politik merupakan artikulasi keadilan dalam situasi yang dilematis, jamak, dan tak tuntas. Apa boleh dikata, modernitas membuat ekonomi menerobos masuk ke domain politik. Sebab, akal modernitas bukan akal sehat, melainkan akal alat. Itu berbicara melulu soal efisiensi dalam menggapai tujuan. Sementara, tujuan sendiri tidak pernah diuji di ruang public. Percakapan public semata mempersoalkan efisiensi sarana untuk sebuah tujuan yang didefinisikan secara soliter.
Debat soal APBN, misalnya. APBN sejatinya adalah sarana untuk menyejahterakan rakyat berbasis keadilan sosial. Namun, perdebatan tidak pernah menyentuh soal kesejahteraan, apalagi keadilan. Perdebatan berfokus melulu pada postur anggaran, besaran subsidi, beban subsidi, kesehatan anggaran, dan Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM). Semuanya perdebatan tentang alat dan siasat belaka. Alhasil, politik pun menjadi sangat manajerial. Manajerialisasi politik adalah fenomena modernitas yang lazim (kalau tidak bisa dibilang) banal. Kita tidak pernah lagi mendengar pidato politik. Setiap pidato kenegaraan adalah pidato ekonomi yang disepuh politik di sana-sini. Pidato seolah-olah politik. Politik sudah direduksi sedemikian rupa menjadi perkara efisiensi. Perdebatan tentang BBM pun dipaksa berposisi hanya pada dua sudut : Proefisiensi atau anti-efisiensi. Tidak lebih. Artikulasi keadilan nyaris tidak terdengar. Kalaupun terdengar, maka artikulasi keadilan hanya kosmetika untuk menutupi wajah yang sepenuhnya ekonomi. Di tangan ekonomi, politik pun menjadi sepenuhnya manajerial. Manajerialisasi politik membuat keputusan-keputusan politik dikendalikan sepenuhnya oleh ekonomi. Ini sungguh menyalahi prinsip ekonomi positif yang meletakkan ekonomi sebagai penopang keputusan politik, bukan sebaliknya. Ekonomi semata-mata bertugas memberikan rekomendasi teknis untuk sebuah tujuan politik tertentu. Artinya, ekonomi tidak sepatutnya masuk ke dalam perdebatan soal nilai, ideology, atau arah etis kebijakan. Kenyataannya, ekonomi bukan sekedar mengambil alih lahan politik, bahkan menentukan bulat lonjong lahan tersebut. Politik pun dibuat gigit jari di kampungnya sendiri.
Keputusan tanpa keputusan
Tidak ada keputusan politik apa pun di rapat paripurna tentang APBN-P kemarin. Rapat itu menunjukkan betapa politisi kita bercakap dengan kosakata yang sama, kosakata ekonomi. Ekonomi adalah soal aturan (nomos) yang bergemin. Aturan mati ekonomi berbunyi : “Jika subsidi BBM tidak dikurang, maka APBN jebol”. Maka, mereka yang menolak pengurangan subsidi BBM berarti setuju APBN jebol. Padahal, terlepas dari subsidi yang sebagian besar dinikmati orang kaya, kita masih bisa berdebat, apakah APBN jebol oleh subsidi atau oleh korupsi. Kita juga bisa berdebat, apakah layak Negara sekaya Indonesia APBN-nya hanya Rp. 1.600 triliun ? Kita sibuk mempersoalkan pengeluaran, tetapi malas mendongkrak pemasukan. Namun, apa mau dikata, aturan emas ekonomi mendominasi jalan pikiran politisi Senayan. Koalisi (yang mulai retak) pun satu suara soal aturan emas tersebut. Subsidi BBM wajib dikurangi untuk menyelamatkan APBN. Pertanyaannya, apakah menyelamatkan APBN sekoyong-koyong menyelamatkan rakyat ? Siapa yang diselamatkan, APBN atau rakyat ? Kita bisa berkeras bahwa APBN yang sehat akan menyejahtarakan rakyat. Masalah ke mana uang hasil desubsidisasi yang pernah dilakukan selama ini ? Apakah uang tersebut sungguh dipakai untuk perbaikan kesejahteraan rakyat ? Atau itu sepenuhnya dipakai untuk kebijakan populis yang berdampak politik jangka pendek.
Ekonomi adalah belukar aturan yang keras dan dingin. Di sisi lain, politik adalah soal kebisa jadian yang plastis. Keduanya ganjil jika dipertemukan. Politik adalah perkara keputusan sementara ekonomi, keniscayaan. Saya menyebutkan keputusan ekonomi sebagai keputusan tanpa keputusan. Sebab, ekonomi pada akhirnya selalu menyerahkan nasib pada aturan yang kaku. Tidak ada ruang sejengkal pun bagi keputusan manusiawi dengan segenap keganjilannya. Semuanya sudah dipastikan sejak awal. Tersanderanya politik oleh ekonomi membuktikan bagaimana keputusan sudah diperkosa oleh keniscayaan. Pemimpin politik sebenarnya diharamkan untuk ragu. Buat apa ragu jika semuanya sudah diatur sedemikian rupa oleh ekonomi. Keraguan merupakan sinyal adanya pertimbangan politik yang berkutat dengan variable majemuk. Lebih gawat lagi jika keraguan itu didorong oleh pertimbangan imaji public belaka. Apakah keputusan yang bersangkutan akan berpengaruh terhadap persepsi public terhadapnya ? Bukan keraguan politik yang didorong oleh sesuatu yang jauh lebih mulia, yakni hajat dan martabat orang banyak. Di rapat paripurna, ekonomi garis keras dan politik setengah hati bertemu. Efisiensi APBN berbuah pada gula-gula politik bernama BLSM, dana Lapindo, dan lain sebagainya. Kesehatan APBN bisa jadi berujung pada kesehatan partai. Tahun politik membuat setiap kebijakan disusupi dengan kepentingan jangka pendek. Semakin besar kompensasi akibat desubsidisasi, semakin besar peluang politik di 2014. Sekali lagi, tidak ada keputusan politik apa pun di parlemen soal subsidi BBM. Parlemen sekedar membonceng keniscayaan ekonomi demi kepentingan electoral belaka. Politik sungguh dibuat tak berdaya oleh ekonomi. Tidak saja dia dipaksa memakai baju pinjaman, tetapi politik pun diubah total  wataknya dari hajat dan martabat orang banyak kepada syahwat kekuasaan belaka. Politik ditekuk sedemikian rupa menjadi seni memutuskan tanpa keputusan. Sungguh celaka.
Sumber : www.kompas.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar