Jika
kita tengok sejarah masa lalu, rezim Orba menggunakan pola-pola
represif untuk meredam setiap gejolak yang timbul. Penyelesaikan dengan
cara-cara otoriter yang tersentralisasi tersebut memang mampu meredam
berbagai permasalahan yang sempat mengemuka. Namun cara itu bukanlah
menyelesaikan masalah. Hal ini disebabkan pendekatan yang digunakan
adalah pendekatan yang menabukan keberagaman (pluralitas), demokrasi dan
hak-hak asasi manusia (HAM). Ibarat “bara dalam sekam”, tumpukan
berbagai masalah kehidupan berbangsa tersebut memperoleh momentum dan
“meledak” dahsyat menjadi kerusuhan sosial pada masa pemerintahan di
bawah kepimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono saat ini.
Kekhawatiran terhadap konflik sosial dengan eskalasi besar dan luas
menjadi hal yang tak terhindarkan di era reformasi sekarang ini.
Pengelolaan atau manajemen konflik menjadi sesuatu yang harus dilakukan
dan diwujudkan. Konflik-konflik tersebut mengakibatkan kerugian,
kepedihan, dan dendam yang tidak berkesudahan. Konflik-konflik yang
bersifat vertical, horizontal dan diagonal tersebut memunculkan
pertanyaan-pertanyaan mendasar bagi kehidupan berbangsa dan bernegara.
Perkembangan
iklim demokrasi di Indonesia kian hari kian bertambah sehat. Hal ini
terlihat dari penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) langsung
Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil
Walikota yang telah digelar di berbagai daerah di Indonesia. Pilkada di
sejumlah daerah kadang menimbulkan permasalahan yang mencuat hingga ke
pengadilan. Permasalahan yang menyangkut Pilkada di tataran akar rumput
(grassroot), biasanya terjadi karena persaingan antara elit politik di
arena Pilkada yang sering memanfaatkan massanya untuk kepentingannya.
Namun, hal itu justru kadang-kadang membuat adanya dinamika yang
berkembang dalam pelaksanaan demokrasi di tanah air. Hanya yang menjadi
perhatian para elit politik di tanah air adalah perlunya mereka
menanamkan wawasan kebangsaan dan nasionalisme bangsa kepada massa
pendukungnya. Paling tidak, dengan cara itu maka diharapkan keinginan
founding fathers bangsa ini yang dengan susah payah membangunnya, baik
itu mulai dari Kebangkitan Nasional 1908, Sumpah Pemuda 1928 dan
momentumnya pada saat Proklamasi 17 Agustis 1945, harus benar-benar
dapat diinternalisasikan kepada massa pendukung dalam pilkada. Dengan
begitu diharapkan dapat meminimalisir konflik yang terjadi akibat
dijalankannya Pilkada disejumlah daerah.
Konflik yang terjadi dalam implementasi demokrasi.
Konflik
dapat dibagi menjadi tiga, yakni : konflik vertical, horizontal dan
konflik diagonal. Konflik vertikal adalah konflik antar tingkatan kelas
antar tingkatan kelompok seperti konflik orang kaya dengan orang tidak
punya atau konflik antar pemimpin atau manajer (pimpinan) dengan
pengikut atau dengan anak buahnya. Sedangkan konflik horizontal ini
terjadi antara individu atau kelompok yang sekelas atau sederajat
seperti konflik antar bagian dalam perusahaan atau konflik antar
organisasi massa yang satu dengan lainnya. Konflik diagonal adalah
konflik yang terjadi karena adanya ketidak adilan alokasi sumber daya ke
seluruh organisasi yang menimbulkan pertentangan secara ekstrim dari
bagian yang membutuhkan sumber daya tersebut. Kasus konflik di Aceh,
awalnya disebabkan perlakuan yang tidak adil atas alokasi sumber daya
ekonomi oleh Pemerintah Pusat. Justru pada saat ini, pada waktu
pelaksanaan Pilkada yang lalu di Aceh tidak terjadi konflik yang
signifikan mengganggu jalannya roda pemerintahan di daerah itu.
Akuntabilitas demokrasi di Aceh justru sudah berjalan tanpa perlu
menggembar-gemborkan dirinya sebagai penganut paham demokrasi. Rakyat
Aceh yang pada saat awal kemerdekaan Indonesia memberikan sumbangan yang
cukup berarti bagi bangsa Indonesia, secara tidak langsung telah
menanamkan rasa kebangsaan dan nasionalisme yang sesungguhnya. Bangsa
Indonesia yang terdiri dari beraneka ragam suku bangsa harus menerima
pelajaran berharga dari pelaksanaan Pilkada yang sukses di Aceh dengan
adanya kemunculan calon independen. Pelajaran berharga ini dapat saja
ditularkan ke daerah-daerah lain di Indonesia yang akan melaksanakan
Pilkada.
Akuntabilitas dalam pelaksanaan demokrasi di Indonesia.
Mencermati
situasi dan kondisi yang berkembang akhir-akhir ini, harus diakui bahwa
betapa besarnya masalah akuntabilitas dalam pelaksanaan demokrasi di
Indonesia di era reformasi saat ini. Paling tidak, ada 4 (empat) hal
yang perlu dicermati yaitu : Pertama, masih lemahnya
akuntabilitas pengurus partai politik baik kepada anggota dan masyarakat
maupun kepada Negara. Kasus kongres partai yang maju mundur, pecahnya
sejumlah partai, belum berjalannya fungsi-fungsi partai, dan belum
lancarnya penyampaian laporan keuangan partai kepada Komisi Pemilihan
Umum (KPU), antara lain mengindikasikan problematic tersebut. Kedua,
masih lemahnya akuntabilitas para wakil rakyat kepada pemilihnya. Hal
ini tampak jelas dari minimnya komunikasi politik antara wakil rakyat
dengan para pemilihnya, kurang kenalnya rakyat pemiliih dengan wakilnya
di parlemen, belum adanya kebijakan berdasarkan aspirasi rakyat pemilih,
hingga kenyataan lebih dikenal asal fraksi anggota dewan daripada
daerah pemilihannya. Ketiga, format akuntabilitas
pejabat eksekutif kepada lembaga perwakilan rakyat yang belum
proporsional. Seperti, laporan tahunan Presiden kepada Majelis
Permusyawaraan Rakyat (MPR) yang berbentuk progress report, dan Laporan
Pertanggung jawaban (LPJ) Kepala Daerah kepada Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah (DPRD) yang sering dijadikan arena tunggangan politik para wakil
rakyat di legislative. Di samping itu, tanggung jawab pejabat eksekutif
kepada public dalam mengelola keuangan daerah/ Anggaran Pendapatan
Belanja Daerah (APBD), dan penetapan pajak dan retribusi daerah yang
belum sesuai dengan ketentuan, sehingga kerap kali terjadi ketegangan
hubungan antara masyarakat dengan pejabat eksekutif lokal. Keempat,
belum mantap akuntabilitas pejabat birokrasi kepada public, seperti
masih ditemukannya pejabat birokrasi yang tertutup atau tidak mau
membuka diri untuk diakses oleh pers, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM)
dan warga Negara lainnya. Minim atau kurangnya informasi yang
dikeluarkan oleh perangkat birokrasi kepada publik berkaitan dengan
pelayanan yang diberikan, merupakan cermin dari masih rendahnya tingkat
akuntabilitas birokrasi.
Keempat
permasalahan yang terungkap tersebut boleh dikatakan belum dapat
terpecahkan dan masih kenyataan dalam realitas politik di tanah air.
Akibatnya, jika dibiarkan berlarut-larut dapat mengakibatkan kinerja
struktur politik bangsa Indonesia terganggu, kualitas proses politik
menjadi kurang bermutu, dan budaya politik yang rasional dan dewasa
belum dapat menjadi suatu kenyataan. Oleh karena itu, diperlukan
upaya-upaya agar bangsa Indonesia mampu mengatasi problematik yang
melemahkan kehidupan demokrasi kita. Bila dicermati secara seksama,
nampaknya masih rendahnya akuntabilitas dalam pelaksanaan demokrasi
bangsa Indonesia, antara lain disebabkan oleh 3 (tiga) masalah, yaitu :
- Aturan main dalam melaksanakan demokrasi masih memerlukan penyempurnaan dan kelengkapan, seperti masih terdapatnya berbagai kekuranga sempurnaan dan kelengkapan di dalam peraturan perundang-undangan yang ada, mulai dari Amandemen Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, Undang-Undang Bidang Politik, Undang-Undang Pemerintahan Daerah, dan Undang-Undang Keormasan serta belum adanya Undang-Undang Lembaga Kepresidenan, Undang-Undang Rekonsiliasi Nasional dan sebagainya, termasuk belum terbangunnya etika politik di antara pelaku-pelaku politik di tanah air.
- Kapasitas lembaga politik yang menjalankan roda demokrasi masih dalam tahap pertumbuhan dan pembelajaran. Partai politik baru lahir kembali tahun 1999, karena itu umurnya kebanyakan masih muda, kepemimpinannya belum solid, keanggotaannya belum rapi, jaringannya belum kuat, manajemen keuangan belum baik, dan sebagainya. Lembaga perwakilan rakyat kita pun kinerjanya masih perlu ditingkatkan, dan perilaku para anggotanya sering mendapat kritik yang tajam dari public. Kinerja birokrasi nampaknya belum seperti yang diharapkan oleh masyarakat luas, termasuk dalam merumuskan dan melaksanakan kebijakan-kebijakan yang menyangkut kepentingan public.
- Aktor politik yang memberikan arah dan mewarnai demokrasi kita sering terlibat dalam konflik dan belum mengedepankan consensus. Selain itu kemampuan, pengalaman dan pendidikan kenegarawan mereka yang masih jauh dari kualitas yang diharapkan. (Djoko Sulistiyono, Peneliti pada Badan Penelitian dan Pengembangan Kemendagri).
Selain
itu, dengan digulirkannya kewajiban menyusun kode etik bagi kalangan
legislative yaitu DPR-RI, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota, yang
berisi norma-norma yang harus dipatuhi oleh setiap anggotanya selama
menjalankan tugas-tugasnya untuk menjaga martabat, kehormatan, citra dan
kredibilitas lembaga permusyawaratan/perwakilan, merupakan suatu hal
yang konstruktif bagi dipatuhinya etika politik oleh mereka. Hal ini
juga harus dapat diterapkan untuk kalangan eksekutif, yudikatif dan
lembaga-lembaga tinggi Negara lainnya. Akhirnya, dengan penekanan pada
aturan main demokrasi diharapkan dapat merupakan pintu masuk untuk
memperbaiki akuntabilitas dalam pelaksanaan demokrasi. Paling tidak,
dengan cara itu segenap daya dan tenaga memang dapat dicurahkan melalui
program pembangunan politik dengan merumuskan visi dan kebijakan yang
mencerminkan akuntabilitas pelaksanaan demokrasi. Implementasi
akuntabilitas demokrasi diharapkan dapat meningkatkan pemahaman wawasan
kebangsaan, dan sekaligus menyongsong pergantian tahun dan dapat
membangkitkan bangsa secara serentak kepada suatu pelajaran berharga
bagi bangsa kita menjelang pesta demokrasi pada tahun 2014 mendatang.
Adanya semangat kebangkitan nasional yang mulai dikristalisasikan pada
tanggal 20 Mei 1908 semoga dapat menambah inspirasi bagi komponen bangsa
Indonesia dalam melangkah maju dan mengisi demokrasi kearah yang lebih
baik.
__________________________________________________________________________________________
Sumber :Kesbangpol-Kemendagri __________________________________________________________________________________________
Tidak ada komentar:
Posting Komentar