Kamis, 27 Juni 2013

Antara Demokrasi Dan Kesejahteraan



          Diskursus mengenai hubungan demokrasi dan kesejahteraan selalu menarik dan aktual untuk diangkat ke ruang publik. Pada pidato politik awal tahun Partai Amanat Nasional (PAN) beberapa hari lalu, Ketua Umum PAN, Hatta Rajasa mengungkapkan, salah satu tantangan terbesar bangsa Indonesia di tahun 2011 adalah membangun demokrasi yang memiliki jati diri bangsa sebagai bagian dari upaya untuk mencapai kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Sejak lama diskursus mengenai hubungan demokrasi dan kesejahteraan menjadi isu klasik dalam debat akademis di kalangan ilmuwan politik dan ahli ekonomi. Dapat dimaklumi jika publik sangat antusias menyambut proses demokratisasi di Indonesia pascakejatuhan rezim Orde Baru tahun 1998. Publik berharap kelahiran sistem politik yang demokratis dapat memacu percepatan kemajuan ekonomi untuk mencapai kesejahteraan rakyat. Dalam konteks itu kemudian muncul sebuah pertanyaan mendasar, apakah demokrasi dapat mendorong terciptanya kesejahteraan.

Tidak sedikit yang berpandangan, keyakinan terhadap demokrasi sebagai jembatan emas guna mencapai kesejahteraan rakyat tidak lebih dari sekadar mimpi. Dua belas tahun sudah reformasi bergulir, tetapi eksistensi demokrasi belum banyak memberi arti. Demokrasi seakan hanya konsumsi sekelompok elite politik. Satu dekade lebih Indonesia berpaling dari rezim otoritarianisme, tetapi demokrasi belum membawa perubahan signifikan. Mengapa demikian?
Di antara sejumlah penyebab terjadinya hal itu adalah masuknya para penumpang gelap reformasi yang kemudian membajak sistem pemerintahan demokratis ini. Tokoh-tokoh yang dulu sangat gigih menghadang gerak laju demokratisasi kini justru berbalik menjadi pihak yang diuntungkan. Elite-elite tersebut kini menguasai berbagai sumber daya politik dan ekonomi di Indonesia.
Alhasil, sistem pemerintahan demokratis akhirnya tidak ditopang oleh kehadiran lembaga-lembaga politik pemerintahan yang bersih. DPR sebagai lembaga vital dalam proses perumusan kebijakan, justru menjadi salah satu pusat praktik kolusi, korupsi, dan nepotisme di Indonesia. Parlemen kita hari ini dihuni para politisi korup yang hanya berorientasi pada upaya mengumpulkan modal guna membiayai agenda politik jangka pendek mereka. Praktik kolusi, korupsi, dan nepotisme yang merajalela di lembaga-lembaga politik pemerintahan membawa dampak negatif tersendiri terhadap pertumbuhan ekonomi bangsa.
Dalam sebuah kesempatan tatkala berkunjung ke Indonesia tahun 2007 lalu, peraih nobel ekonomi Joseph Stiglitz mengemukakan, sebab utama mengapa proses kebangkitan Indonesia dari keterpurukan ekonomi lebih lama ketimbang negara Asia lain adalah akibat budaya korupsi yang menjerat hampir seluruh sendi kehidupan bernegara. Singkat kata, sebab utama sistem pemerintahan demokrasi Indonesia belum maksimal dalam upaya penciptaan pemerataan kesejahteraan rakyat dewasa ini karena adanya praktik KKN berjenjang di lembaga politik pemerintahan, seperti birokrasi. Hal itu jelas tidak mampu menciptakan iklim kondusif bagi segala aktivitas ekonomi, bisnis, dan investasi.
Penting bagi bangsa Indonesia di awal tahun 2011 ini membulatkan tekad untuk mengelola demokrasi dan kebebasan yang tengah mekar saat ini agar mampu menjawab berbagai problem nyata. Ajakan untuk membangun demokrasi yang memiliki jati diri bangsa sebagai bagian dari upaya untuk mencapai kemakmuran dan kesejahteraan rakyat, sebagaimana disuarakan PAN, sudah semestinya disambut dengan tangan terbuka oleh kekuatan-kekuatan politik nasional lain guna menghasilkan sinergi positif.
(Bawono Kumoro, peneliti politik The Habibie Center)
________________________________________________________________________________
Sumber: http://adilesmana.com/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar