Kamis, 04 Juli 2013

Apakah IMF itu?

    Dana Moneter Internasional atau International Monetary Fund (IMF) adalah organisasi internasional yang bertanggungjawab dalam mengatur sistem finansial global dan menyediakan pinjaman kepada negara anggotanya untuk membantu masalah-masalah keseimbangan neraca keuangan masing-masing negara. Salah satu misinya adalah membantu negara-negara yang mengalami kesulitan ekonomi yang serius, dan sebagai imbalannya, negara tersebut diwajibkan melakukan kebijakan-kebijakan tertentu, misalnya privatisasi badan usaha milik negara.
Dari negara-negara anggota PBB, yang tidak menjadi anggota IMF adalah Korea Utara, Kuba, Liechtenstein, Andorra, Monako, Tuvalu dan Nauru.

Lembaga ini berawal ketika PBB mensponsori Konferensi Keuangan dan Moneter di Bretton Woods, New Hampshire, Amerika Serikat pada tanggal 22 Juli, 1944. Artikel tentang Perjanjian IMF berlaku mulai 27 Desember 1945, dan organisasi IMF terbentuk pada bulan Mei 1946, sebagai bagian dari rencana rekonstruksi pasca Perang Dunia II dan memulai operasi finansial pada 1 Maret 1947.
Lembaga ini, bersama Bank untuk Penyelesaian Internasional dan Bank Dunia, sering pula disebut sebagai institusi Bretton Woods. Ketiga institusi ini menentukan kebijakan moneter yang diikuti oleh hampir semua negara-negara yang memiliki ekonomi pasar. Sebuah negara yang menginginkan pinjaman dari IMF, keistimewaan BIS serta pinjaman pembangunan Bank Dunia, harus menyetujui syarat-syarat yang ditentukan oleh ketiga institusi ini.
IMF adalah lembaga pemberi pinjaman terbesar kepada Indonesia. Lembaga internasional ini beranggotakan 182 negara. Kantor pusatnya terletak di Washington. Misi lembaga ini adalah mengupayakan stabilitas keuangan dan ekonomi melalui pemberian pinjaman sebagai bantuan keuangan temporer, guna meringankan penyesuaian neraca pembayaran. Sebuah negara akan meminta dana kepada IMF ketika sedang dilanda kiris ekonomi. Pinjaman tersebut terkait erat dengan berbagai persyaratan, yang disebut kondisionalitas. Mata uang IMF adalah SDR — Special Drawing Rights. Mulai 20 Agustus 1998, 1 SDR = US$ 1,33.
IMF dijuluki ‘organisasi internasional paling berkuasa di abad 20, yang sangat besar pengaruhnya bagi kesejahteraan sebagian besar penduduk bumi’. Ada pula yang mengolok-olok IMF sebagai singkatan dari ‘institute of misery and famine’ (lembaga kesengsaraan dan kelaparan). Sebagaimana halnya Bank Dunia, lembaga ini dibentuk sebagai hasil kesepakatan Bretton Woods setelah Perang Dunia II. Menurut pencetusnya, Keynes dan Dexter White, tujuannya adalah ‘menciptakan lembaga demokratis yang menggantikan kekuasaan para bankir dan pemilik modal internasional’ yang bertanggung jawab terhadap resesi ekonomi pada dekade 1930-an. Akan tetapi peran itu sekarang berbalik 180 derajat, setelah IMF dan Bank Dunia menerapkan model ekonomi neo-liberal yang menguntungkan para pemberi pinjaman, bankir swasta dan investor internasional. Lembaga keuangan tersebut dikecam sebagai tak lebih dari perpanjangan kebijakan luar negeri Amerika Serikat.
IMF diserang kritik
Selama bertahun-tahun IMF dikecam karena meningkatkan kemiskinan dan ketidakstabilan. Laporan-laporan terbaru dari Kongres AS dan Parlemen Inggris juga memberikan kecaman pedas terhadap tindakan-tindakan IMF. Kepala ahli Ekonomi Bank Dunia, Joseph Stiglitz, sangat mengecam IMF atas perannya dalam krisis Asia. Di Indonesia, IMF dituding sebagai biang keladi kepanikan yang berbuntut pada krisis keuangan, setelah ia memaksa penutupan 16 bank dan membuat kesepakatan restrukturisasi besar-besaran yang mengakibatkan investor panik. Kendati sejak musim gugur 1999 IMF menempuh langkah pengurangan kemiskinan sebagai sasaran utama, masih perlu dicermati seberapa kuat daya penyembuhnya.
Menurut laporan staf IMF sendiri: “Sering didapati bahwa program-program (IMF) diikuti oleh meningkatnya inflasi dan anjloknya tingkat pertumbuhan” (Khan 1990). Institut Pembangunan Luar Negeri (ODI) Inggris menyimpulkan bahwa program-program IMF mengandung ‘pengaruh terbatas kepada pertumbuhan ekonomi,’ ‘mengurangi pendapatan riil’, ‘gagal memicu arus modal masuk,’ ‘tidak begitu berdampak terhadap angka inflasi’, ‘memangkas tingkat investasi’, ‘berbiaya sosial besar,’ ‘menciptakan destabilisasi politik.’
Bagaimana pinjaman berlaku
Ada beberapa macam pinjaman;
SBA – standby arrangements: pinjaman jangka pendek 1-2 tahun
EFF – extended fund facility: pinjaman jangka menengah 3 tahun dengan peninjauan sasaran setiap tahun.
SAF – structural adjustment facility: pinjaman jangka menengah dengan konsesi tertentu selama tiga tahun bagi negara-negara berpendapatan rendah.
ESAF – enhanced structural adjustment fund: mirip SAF, tapi berbeda cakupan dan rentang persyaratannya.
Amerika Serikat mengontrol pembuatan keputusan di IMF melalui hak votingnya, sesuai dengan besarnya hak suara yang dimiliki yakni 17.81%. Angka tersebut cukup memberinya hak untuk memveto kebijakan IMF. Selain AS, tidak ada negara yang mempunyai lebih dari 6% hak suara dan mayoritas negara anggota mempunyai kurang dari 1%. Pinjaman IMF dianggap sebagai sesuatu yang ‘keramat’; yang tidak bisa dilalaikan oleh suatu negara.
Persyaratan – obat IMF
Nota Kesepakatan atau Letter of Intent (LoI) adalah dokumen yang menetapkan apa yang harus dilakukan oleh sebuah negara agar bisa memperoleh pinjaman IMF. LoI didahului dengan negosiasi antara kementerian keuangan negara yang bersangkutan dan IMF. Dokumen tersebut biasanya ditandatangani oleh Menteri Keuangan dan kepala bank sentral. LoI memuat kebijakan-kebijakan berskala besar yang harus diimplementasikan oleh pemerintah. Tidak jarang, LoI sangat jauh jangkauannya. Unsur-unsurnya sering mencakup, antara lain: sasaran anggaran berimbang, sasaran-sasaran pengadaan uang dan inflasi, kebijakan nilai tukar uang, keseimbangan perdagangan dan kebijakan perdagangan, reformasi hukum perburuhan, reformasi struktur PNS, privatisasi, dan perubahan perundang-undangan. Kadang-kadang Memorandum tambahan disertakan pada LoI.
IMF menambahkan syarat-syarat pada pinjamannya. Dalam jangka pendek, umumnya IMF menekankan kebijakan-kebijakan berikut:
devaluasi nilai tukar uang, unifikasi dan peniadaan kontrol uang; liberalisasi harga: peniadaan subsidi dan kontrol; pengetatan anggaran.
Dalam jangka panjang, umumnya IMF menekankan kebijakan-kebijakan berikut:
liberalisasi perdagangan: mengurangi dan meniadakan kuota impor dan tarif;deregulasi sektor perbankan sebagai ‘program penyesuaian sektor keuangan’;privatisasi perusahaan-perusahaan milik negara;privatisasi lahan pertanian, mendorong agribisnis;reformasi pajak: memperkenalkan/meningkatkan pajak tak langsung;
‘mengelola kemiskinan’ melalui penciptaan sasaran dana-dana sosial’pemerintahan yang baik’.
Kesepakatan terbaru antara Pemerintah Indonesia dan IMF
Pada 4 Februari 2000, IMF menyetujui pemberian pinjaman — jenis EFF — berjangka waktu tiga tahun sebesar SDR 3,638 milyar (sekitar US$5 milyar) untuk mendukung program reformasi ekonomi dan struktural Indonesia. Dari jumlah tersebut, SDR 260 juta (sekitar US$49 juta) diberikan pada hari itu juga dan sisanya akan diberikan setelah dilakukan peninjauan kinerja sasaran dan program pada periode berikutnya
Kesepakatan Pinjaman Pasca-krisis
Tabel berikut ini menunjukkan tiga kesepakatan terakhir IMF dengan Pemerintah Indonesia. Jumlah pinjaman sesungguhnya lebih kecil daripada jumlah yang disetujui — yakni Pemerintah Indonesia tidak sepenuhnya menerima total dana yang disediakan.
Konsultasi dengan masyarakat sipil, LSM dan Aktivis
IMF mengatakan bahwa sulit menerima masukan dari masyarakat sipil mengenai pinjaman karena kendala waktu. Tapi, LSM bisa mendesak untuk bertemu dengan para utusan misi IMF. Jika mereka menolak, mereka bisa diadukan kepada para petinggi IMF dan pers. LSM juga bisa menyoroti sasaran/kebijakan yang belum diimplementasikan, kebijakan-kebijakan yang bermasalah dan menyarankan kebijakan yang dapat disisipkan. Pinjaman terbaru dari IMF akan berlaku hingga 31 Desember 2002, tetapi sewaktu-waktu dapat ditunda bila sasaran tidak tercapai.
_____________________________________________________________________________
Sumber: http://yudhitc.wordpress.com

KEJAHATAN KORPORASI DALAM PERSPEKTIF HUKUM

Oleh : Akmal

       Kejahatan korporasi “corporate crime” dapat diartikan sebagai suatu bentuk kerjasama (kelompok) yang sifatnya terstuktur dalam suatu tindak kejahatan (pidana). Masalah “kejahatan korporasi” (corporate crime) akhir-akhir ini menjadi pembicaraan yang hangat dan menarik dipermasalahkan, dalam kaitannya dengan upaya pemerintah untuk menaggulangi kejahatan ekonomi (economic crime). Kejahatan ekonomi merupakan kejahatan yang sering menimbulkan akibat serius karena dapat merusak struktur dan sistem ekonomi nasional bahkan mungkin dapat mempengaruhi ekonomi global. Indonesia sebagai negara berkembang dengan suasana melajunya proses pembangunan telah membuahkan pertumbuhan ekonomi yang semakin meningkat, sementara pada sisi lain merasakan adanya tendensi jenis kriminalitas tertentu yaitu kejahatan ekonomi yang apabila dipandang dari segi kualitas menunjukkan adanya peningkatan. Secara kualitatif, dari waktu ke waktu mengalami perubahan dengan cepat, seirama dengan bergerak majunya proses pembangunan, terutama didalam kaitannya dengan pemanfaatan teknologi modern. Dikatakan demikian karena selain para pelaku kejahatan, umumnya tergolong skilled person yang mampu memanfaatkan teknologi modern juga didalam kegiatannya terhimpun didalam suatu organisasi yang rapi dan menjurus ke arah modus “kejahatan korporasi.”

Harus disadari bahwa perhatian terhadap kejahatan korporasi pada masa silam belum begitu mendalam bahkan dapat dikatakan masih terpusat pada kejahatan konvensional. Kurangnya perhatian para ahli kriminologi dan sosiologi terhadap kejahatan korporasi, besar kemungkinan disebabkan adanya beberapa hal antara lain:
- Kompleksnya sifat kejahatan yang terorganisir secara rapi (organized crime), selain dari pada itu karena rumitnya struktur korporasi. Ini berarti untuk melakukan penelitian membutuhkan keahlian khusus.
- Pada umumnya perangkat perUndang-Undangan tentang korporasi disusun oleh para birokrat tanpa melibatkan para praktisi dibidang criminal justice agencies.
- Sementara dinegara berkembang seperti Indonesia, kejahatan korporasi merupakan hal yang baru, sehingga penyediaan dana untuk menyelenggarakan penelitian dari para ahli lebih tercurah pada kejahatan konvensional, jika dibandingkan dengan kejahatan korporasi.
Dalam pemahaman sebagaimana yang terurai diatas, bahwa “kejahatan korporasi” adalah termasuk kategori sebagai “organizational crime” yang terjadi dimana para pelaku (perpetrators) didalam aktifitas perbuatannya terdapat korelasi yang sangat erat dan kompleks yang berorientasi dalam basis organisasi korporasi dan bukan karena jabatannya.
Selain itu perlu dibedakan antara fungsi organisasi sebagai hubungan tata kerja secara struktural untuk menyalurkan berbagai tanggung jawab atau alat untuk menjamin terpeliharanya koordinasi kerja yang baik dengan fungsi korporasi sebagai wadah kegiatan organisasi, walaupun keduanya merupakan wahana (vehicle) untuk melancarkan aktifitas di dalam melakukan kejahatan. Selain perlu adanya pembedaan fungsi organisasi dengan fungsi korporasi, juga perlu dibedakan “titik sentral perbuatannya” yang menyangkut tujuan atau kepentingannya karena akan memberikan konsekuensi yang berbeda. Dalam hal beberapa orang eksekutif (corporate excecutive) telah melakukan perbuatan pidana baik atas nama probadi maupun atas nama korporasi yang dilakukan hanya semata-mata untuk kepentingan dan keuntungan korporasi, maka perbuatan demikian dapat dikatakan sebagai “kejahatan korporasi”. Akan halnya jika eksekutif korporasi melakukan perbuatan pidana yang menyimpang dari tujuan korporasi, misalnya melakukan “penggelapan” sehingga mendatangkan keuntungan pribadi hal mana terjadi semata-mata dalam kaitannya dengan jabatan di dalam korporasi, maka perbuatan itu disebut sebagai “white collar atau occupational crime.”
Berbicara tentang “kejahatan korporasi” tidak dapat dilepaskan dari pembicaraan tentang “organized crime”. Hal ini dikarenakan dalam korporasi terdapat organisasi tata kerja yang memiliki eksistensi yang sangat dominan didalam mencapai tujuan korporasi, sehingga terdapat korelasi keterkaitan satu sama lain. Terminologi “organized crime” dapat dilawankan dengan “personal crime” yang memiliki basis pada orang
Dengan maksud untuk memperoleh keuntungan pribadi (Personal gain) dan tidak ada hubungannya dengan Personal Business.berbeda dengan Orgainized crime, dimana kejahatan ini dilakukan oleh dan melibatkan beberapa orang yang terkoordinir secara struktural, para anggotanya berdisiplin tinggi dan beberpa orang diantaranya memiliki keahlian tertentu. Tujuan utamanyauntuk memperoleh keuntungan di bidang ekonomi (Economic gain), walaupun kadang-kadang sementara anggota memiliki tujuan guna memperkuat status dan kekuasaannya. Didalam skala besar kadang Organized Crime dikendalikan oelh beberpa sindikat yang di kenal Mafia, serta lazimnya bergerak dibidang, Business secara illegal bahkan memiliki pula business yang bersifat legal. Organisasinya sangat rapi sehingga tidak mudah terdeteksi oleh aparat keamanan, maka untuk menanggulangi kejahatan tersebut memrlukan teknik dan pendekatan khusus serta waktu yang panjang.
Sebagaimana disinguung bahwa”koporasi” sebagai wadah seluruh kegiatan organisasi Business, dapat dijadikan wahana untuk melakuakan kejahatan yang dalam hal ini dilakukan oleh para eksekutif korporasi. Begitu banyaknya jenis serta struktur organisasi korporasi dan pada umumnya berbentuk badan hukum resmi, sehingga suliot untuk mengetahui liku-liku kegiatan operasional badan usaha/ korporasi dimaksud.
Didalam konteks “Low enforcement” terhadap kejahatan korporasi, dihadapkan pada tiga masalah penting yaitu:
Ø Tentang pertanggungjawaban pidana daripada korporasi
Ø Sistem pemindaan terhadap korporasi
Ø Teknik penyidikan yang efektif
Pembentukan korporasi sebagai badan hukum, umumnya dituangkan dalam akta pendirian, diantaranya memuat tentang nama korporasi jenis kegiatan usahanya serta susunan pengurus yang layak bertanggung jawab untuk dan atas nama korporasi. Oleh karena itu, maka secara fisik semua kegiatan korporasi diwakili oleh satu atau beberpa eksekutif korporasi, konsekuensi logis secara teoritis manakala korporasi melakukan kejahatan sebenarnya merupakan manifestasi dari pada perbuatan para eksekutifnya. Para eksekutif korporasi pada hakekatnya adalah tidak lebih dari pada individu-individu yang bertindak bersama-sama karena adanya keterikatan didalam korporasi,sebagai kesatuan tata hubungan kerja yang bersifat khusus. Persinifikasi yang terwujud didalam suatu sistem mekanisme, terhimpun didalam suatu mata rantai kesatuan hubungan kerja, selain bergerak dibinag hukum perdata juga dapat memasuki bidang hukum pidana.
Apabila ternyata eksekutif korporasi didalam kegiatannya telah melanggar hukum pidana kendatipun mereka melakukan perbuatan semata-mata untuk kepentingan atau keuntungan korporasi, maka kepada pribadi para pelakulah yang layak diminta pertanggungjawaban secara pidana, bukan kepada korporasinya yang secara fisik tidak ada. Jalan pemikiran lain ialah seandainya “korporasi” dapat dihukum, sudah barang tentu akan menimpa seluruh pemegang saham, yang incasu para pemegang saham dimaksud sama sekali tidak mengetahui ikhwal kejahatan yang dilakukan oleh eksekutif korporasi, sehingga secara hukum merek tidak layak untuk diminta pertanggungjawaban apalagi jika mereka harus menerima hukuman. Dilain piha k dari sistem pemindaan yang ada, juga sulit menemukan hukuman mana yang paling tepat untuk korporasi, yang jelas hukuman badan (penjara, kurungan atau hukuman mati) tidak dapat dikenakan pada korporasi. Namun , oleh karena korporasi lazimnya bergerak dibidang busines, maka dapat dijatuhi hukuman jika pelanggaran hukum yang dilakun memiliki unsur diterrent, yaitu berbagai tindakan administratif yang bertitik sentral pada dan berkaitan langsung dengan bidang busines/usaha korporasi.
Kejahatan korporasi, termasuk klasifikasi “economic crime” yang tidak jarang menyangkut transaksi hubungan dagang yang sangat kompleks dan rumit, sehingga aparat penyidik mengalami kesulitan untuk menentukan apakah perbuatan berupa transaksi hubungan dagang dari korporasi itu telah memasuki bidang hukum pidana atau masih didalam penyidikan akan menemukan sejumlah dokumen yang sangat asing dan jarang ditemui oleh aparat penyidik khusus yang ahli di bidang itu , juga memerlukan kecermatan dan ketelitian. Aparat penyidik yang sudah berpengalaman sekalipun akan mengalami kesulitan dalam melakuan penyidikan terhadap kejahatan korporasi. Bilamana dipaksakan maka sudah barang tentu kualitas hasil penyidikan mungkin jauh dari pada yang diharapakan, akhirnya pada tingkat penuntunya pun akan mengalami kegagalan. Oleh karena itu, perlu adanya modernisasi dan inovasi didalam teknik penyidikan dengan cara membentuk tim gabungan (satuan tugas) yang terdiri dari penyidik-penyidik senior dan penuntut umum senior yang memili pengalaman luas serta dididik dan dilatih secara terintegrasi, kemudian didalam kasus tertentu satuan tugas tersebut dapat diperkuat dengan ahli-ahli dibidang per-Bak-an atau akutan.
Salah satu hambatan yang sering dijumpai oleh satuan tugas adalah terhadap bukti-bukti yang penting tidak dapat ditemukan, karena didalam kasus tertentu ternyata saksi dan korbannya enggan untuk memeberikan keterangan atau enggan untuk bekerjasama karena merasa akan lebih aman jika pelakunya tidak dijatuhi hukuman. Oleh karena itu, maka perlu adanya pendekatan inovatif pada teknik penyidikan, sehingga dapat menumbuhkan semngat warga masyarakat untuk lebih berpartisipatif aktif didlam pemberantasan kasus-kasus kejahatan ekonomi. Dengan pendekatan mana diharapakan akan terbentuk, suatu intiusi yang terjadi dan bersumber kepada lembaga formal dalam bentuk kerjasama terintegrasi antara criminal dan non-criminal

_______________________________________________________________________________
Sumber:http://artikeldanopini.blogspot.com

PELAYANAN YANG BERORIENTASI KEPADA KEPUASAN MASYARAKAT

Oleh:  A. AZIZ SANAPIAH
                                                           Pendahuluan
Pelayanan merupakan tugas utama yang hakiki bagi aparatur pemerintah sebagai abdi Negara dan abdi masyarakat. Oleh karena itu, untuk meningatkan kualitas pelayan masyarakat, maka perbaikan kinerja aparatur sangat penting. Dalam kaitan ini, kebijaksanaan pemerintah untuk meningkatkan kualitas pelayanan masyarakat harus direncanakan secara transparan secara lebih mengefektifkan tugas dan fungsi lembaga-lembaga pengawasan. Dengan demikian mutu pelayanan diharapkan akan dapat mencapai tahapan “prima” (kristiadi, 1999). Dalam upaya meningkatkan kualitas pelayanan masyarakat, kantor Menko Wasbangpan telah mengeluarkan Surat Edaran Nomor 56/1998 tentang Langkah nyata Perbaikan Pelayanan Masyarakat Sesuai Aspirasi Reformasi.
Tuntutan masyarakat terhadap kualitas pelayanan aparatur pemerintah akan semakin tinggi mengingat kasadaran masyarakat akan hak dan kewajibannya sebagai warga Negara semakin berkembang. Masyarakat menuntut pelayanan yang cepat, tepat, adil, transparan, efesien dan efektif.
Kata kunci untuk memenuhi harapan tersebut adalah diperlukan perubahan cara pandangan dimana masyarakat adalah pihak yang harus dilayani dan dipuaskan kebutuhannya, bukan sebaliknya aparatur yang harus dilayani oleh masyarakat. Ini berarti nilai-nilai lama yang dianut aparatur pemerintah harus dapat ditransformasikan guna menuju manajemen pelayanan masyarakat yang mampu menumbuhkan daya saing dan kreativitas masyarakat itu sendiri.
Dalam tiga dekade yang lalu, kritik masyarakat terhadap kualitas pelayanan aparatur sangat gencar, terutama dalam hal belum optimal fungsi pemerintah sebagai pelayanan masyarakat. Studi yang dilakukan oleh Perwakilan LAN Sulawesi Selatan (1997), menunjukkan pelayanan aparatur kepada dunia usaha/ swasta hanya menimbulkan ekonomi biaya tinggi (high cost economy) terhadap setiap produk yang dihasilkan. Hal ini dapat dilihat dari 4.396 jenis pungutan yang dilakukan aparat mulai dari tingkat pusat sampai tingkat daerah. Dari jumlah pungutan tersebut, sekitar 27% dari total biaya produksi dialokasikan untuk memperoleh pelayanan aparatur. Kondisi ini akan berakibat menurunkan daya saing produk Indonesia terhadap produk Negara lainnya.
Untuk peningkatan daya saing bangsa menuntut peningkatan mutu pelayanan kepada masyarakat. Usaha peningkatan pelayanan kepada masyarakat harus dikelola secara professional yakni menggunakan manajemen kualitas pelayanan agar layanan masyarakat dapat dipertanggungjawabkan sesuai dengan kebutuhan dan kepuasan masyarakat yang dilayani.
Dimensi dan Lingkup Manajemen Pelayanan Masyarakat
Dalam praktek administrasi Negara di Indonesia dikenal dua dimensi tugas pemerintahan, yaitu tugas umum pemerintahan dan tugas pembangunan. Tugas umum pemerintahan inilah sebagai titik tolak manajemen pelayanan masyarakat.
Kata “ manajemen pelayanan masyarakat” menurut Soejono (1997) mempunyai lingkup : (1) Keseluruhan proses manajemen mulai dari perencanaan sampai pengawasan ; (2) Keseluruhan fungsi manajemen termasuk koordinasi; pengambilan keputusan orang lain sehingga orang lain puas akan hasil pekerjaannya. Mengacu pada tugas umum pemerintahan, maka sebenarnya fungsi-fungsi pemerintah dalam hal ini adalah :
(1) pelayanan untuk masyarakat, (2) memberikan kemudahan untuk masyarakat (3) memberikan izin kepada masyarakat, (4) membina, (5) membimbing masyarakat, (6) pengawasan, (7) pengaturan dan,
(8) pengayoman dan perlindungan masyarakat.
Dengan demikian, konsep pelayanan masyarakat memiliki dimensi dan ruang lingkup yang sangat luas. Pengertian pelayanan masyarakat dalam arti luas adalah keseluruhan proses penyelenggaraan kepentingan umum/masyarakat yang dilaksanakan oleh pemerintah untuk menciptakan efisiensi. efektivitas, keadilan sosial dan kesejahteraan. Sedangkan dalam pengertian sem¬pit, pelayanan masyarakat adalah proses pelayanan tatap muka yang dilakukan oleh instansi pemerintah kepada masyarakat berdasarkan ketentuan yang telah ditetapkan sebelumnya.
Berdasarkan pengertian pelayanan masyarakat tersebut, ~maka lingkup pelayanan masya¬rakat meliputi:
1. Suatu prosesperumusan kebijaksanaan yang berkaitan dengan peiayanan masyarakat berupa pengaturan, perizinan, pengawasan, pembinaan baik yang dilakukan oleh peme¬rintah, BUMN, BUMO atau pun organisasi LSM karena mendapat kewenangan dari pemerintah.
2. Pelayanan dalam arti proses peiayanan yang berkaitan dengan tugas umum peme¬rintahan, termasuk tugas pelayanan yang dilakukan oleh BUMN/BUMD dan kegiatan pelayanan masyarakat yang diberikan wewenang oleh pemerintah kepada LSM.
Kebijaksanaan Pemerintah dalam Meningkatkan Kualitas Pelayanan Masyarakat
Pemerintah menyadari akan tingginya tuntutan kualitas pelayanan yang diharapkan oleh masyarakat. Diakui memang selama ini muncul banyak keluhan dari masyarakat yang berkaitan dengan pelayanan aparatur seperti prosedur pelayanan yang berbelit-belit sebagai akibat birokrasi yang kaku dan perilaku oknum aparatur yang kadangkala kurang bersahabat dalam memberikan layanan. Fungsi pelayanan umum oleh aparatur belum sepenuhnya mampu mene¬rapkan prinsip-prinsip pelayanan umum yang menjamin kemudahan, kelancaran, transparansi. tepat waktu, keamanan, kenyamanan dan menjamin adanya kepastian hukum. Oleh karena itu, dalam upaya menerapkan prinsip-prinsip pelaya¬nan umum yang baik, kantor MENPAN mengeluarkan Keputusan Nomor 81/1993 Tentang Pedoman Pelayanan Umum. Sendi-sendi pelayanan umum yang berkualitas adalah:
1. Kesederhanaan, dalam arti bahwa prosedur/tata eara pela¬yanan diselenggarakan secara mudah, lancar. tidak berbelit- bel it, mudah dipahami, dan mudah dilaksanakan.
2. Kejelasan dan kepastian dalam arti adanya kejelasan dan kepastian mengenai:
(a)Prosedur/tatacara pelayana umum, (b) Persyaratan pela yanan umum, (c) Unit kerja pejabat yang berwenang dan bertanggung jawab dalam memberikan pelayanan umum(d) Rincian biaya, (e) jadwal waktu penyelesaian pelayana umum, (f) Hak dan kewajiba dari pemberi maupul, penerima pelayanan, dan (g) Pejabat yang menerimi' keluhan masyarakat.
3. Keamanan dalam arti bahwa proses dan hasil pelayanan umum dapat memberi keamanan dan kenyamanan sertl memberi kepastian hukum.
4. Keterbukaan, dalam arti prosedur/tatacara, persyaratan, satuan kerja, pejabat penanggung jawab pemberian pelayanan umum. Waktu penyelesaian dan rincian biaya wajib diinformasikan secara terbuka agar mudah diketahui dan dipahami oleh masyarakat.
5. Efisien, dalam arti (a) persya¬ratan pelayanan umum hanya dibatasi pada hal-hal yang berkaitan langsung dengan pencapaian sasaran pelayanan dengan tetap memperhatikan keterpaduan antara persyaratan dengan produk pelayanan umum yang diberikan, (b) dicegah adanya penguiangan pemenuhan kelengkapan per¬syaratan;
6. Ekonomis, dalam arti penge¬naan biaya pelayanan umum harus ditetapkan secara wajar dengan memperhatikan; (a) nilai barang atau jasa pelayanan umum dan tidak menuntut biaya yang iebih tinggi di luar kewajaran, (b) kondisi atau kemampuan masyarakat untuk membayar secara umum, (c) ketentuan peraturan perun¬dang-undangan yang berlaku;
7. Keadilan yang merata, dalam arti cakupan/jangkauan pela¬yanan umum harus diusahakan seluas mungkin dengan distribusi yang merata dan diperlakukan secara adil.
8. Ketepatan waktu, dalam arti pelaksanaan pelayanan umum dapat diselesaikan dalam waktu yang telah ditentukan.
Kualitas pelayanan masya¬rakat merupakan salah satu masalah yang mendapat perhatian serius dari pemerintah. Hal ini dapat dilihat dari adanya Keputusan MENPAN 81/1993 yang dipertegas dalam INPRES 1/95, kemudian disusul dengan surat Edaran MENKO-WASBANGPAN No. 56/MK.WASPAN/6/98 yang isinya adalah:
1. Dalam waktu secepat-cepat¬nya mengambil langkah¬langkah perbaikan mutu pela¬yanan masyarakat pada masing-masing unit/kantor pelayanan termasuk BUMN/ BUMD.
2. Langkah-Iangkah perbaikan mutu pelayanan masyarakat tersebut diupayakan dengan:
a. Menerbitkan pedoman pela¬yanan yang antara lain me¬muat persyaratan,prosedur, biaya/tarif pelayanan dan batas waktu penyelesaian pelayanan. baik dalam ben¬tuk buku panduan/pengumuman, atau melalui media informasi lainnya.
b.Menempatkan petugas yang bertanggung jawab melaku¬kan pengecekan kelengkapan persyaratan permohonan un¬tuk kepastian mengenai dite¬rima atau ditolaknya berkas permohonan tersebut pada saat itu juga.
c. Menyelesaikan permohonan pelayanan sesuai dengan batas waktu ditetapkan. dan apabila batas waktu yang telah ditetapkan terlampaui, maka permohonan tersebut berarti disetujui.
d. Melarang dan atau meng¬hap us biaya tambahan yang dititipkan pihak lain dan meniadakan segala bentuk pungutan liar. di luar biaya jasa pelayanan yang ditetapkan.
e. Sedapat mungkin menerap¬kan pola pelayanan secara terpadu (satu pintu) bagi unit-unit kerja kantor pela¬yanan yang terkait dalam memproses atau mengha¬silkan satu pelayanan.
f. Melakukan penelitian seca¬ra berkala untuk mengetahui kepuasan pelanggan masyarakat atas pelayanan yang diberikan. antara lain dengan cara penyebaran kuesioner kepada pelang¬gan/masyarakat dan hasilnya perlu dievaluasi dan ditindaklanjuti.
g. Menata sistem dan prosedur pelayanan secara berkesinambungan sesuai dengan tuntutan dan perkem bangan dinamika masyarakat.
3. Pernerintah membuka kesem patan yang seluas-luasnya kepada masyarakat baik langsung maupun melalui media massa untuk menyampaikan saran dan atau pengaduan mengenai pelayanan masyarakat.
Asas-Asas Pelayanan Masyarakat
Sebagai konsep dasar yang cukup penting dari sistem pelayanan yang selalu memiliki asas-asas pelayanan langsung menyentuh pada kebutuhan masyarakat. Menurut Kristiadi (1999). pelayanan masyarakat yang ideal, paling tidak memiliki beberapa prinsip dasar sebagai berikut:
1. Pelayanan yang berorientasi pada pasar dimana permintaan lang¬ganan atau masyarakat bersama¬ -sama dengan pelayanan yang dilakukan oleh pihak lain.
2. Pelayanan yang semakin lama semakin meningkat sedangkan permintaan masyarakat tidak boleh ditinggalkan. Apalagi manakala birokrasi telah memacunya untuk meningkatkan permintaannya, maka pelayanan yang diterapkan tidak boleh mundur.
3. Pelayanan harus dievaluasL tidak saja keberhasilannya akan tetapi juga kegagalan dari pelaksanaan sistem pelayanan yang diterap¬kan. Hasil dari pelaksanaan suatu pelayanan harus dapat diukur dan kalau gagal dapat dipelajari letak kesalahannya serta menjadi suatu pertimbangan di masa datang agar supaya kegagalan tidak terulang kembali. Demikian pula keberhasilan yang diraih harus secara optimal diinformasikan kepada masyarakat sehingga mendapat dukungan yang lebih luas dari masyarakat itu sendiri.
4. Pelayanan yang kurang mem¬perhatikan kedudukan konsu¬men/pengguna jasa layanan yang seharusnya ditempatkan pada tempat yang strategis ditengah-tengahsuatu sistem kegiatan pelayanan. Dalam hal ini, pelayanan yang memiliki karakteristik tidak berhadapan langsung dengan kebutuhan masyarakat agar ditempatkan ditengah suatu sistem pelayanan, dan bukan justru di barisan paling depan.
5. Pelayanan yang kurang memperhatikan hirarki nilai kepuasan masyarakat sehingga nilainya berbeda. Karena bagaimanapun kepuasan masya¬rakat sebenarnya memiliki hirarki nilai kepuasan mulai pada nilai tingkat dasar, nilai yang diharapkan, nilai yang dicita¬ - citakan dan nilai kepuasan yang tidak terduga.
Orientasi Manajemen Pelayanan Masyarakat
Peningkatan kualitas pela¬yanan kepada masyarakat seperii yang terdapat dalam agenda Reinventing Government adalah pengembangan organisasi yang bermuara pada terwujudnya a smaller, better, faster and cheaper government, (Osborne & Gaebler, 1993). Agenda kita yang pertama dalam meningkatkan kualitas pelayanan masyarakat adalah merubah kecenderungan orientasi pelayanan aparatur selama ini, yaitu membalikkan mental model birokrat dari keadaan lebih suka dilayani menuju pada lebih suka melayani Semula menempatkan pemimpin puncak birokrasi berada pada piramida tertinggi dengan warga negara (customer) berada pada posisi terbawah. Orientasi ini menjadikan pemimpin birokrasi sebagai "raja" yang harus dilayani oleh masyarakatnya. Hal itu tidak sesuai dengan prinsip yang menjadikan masyarakat/pelanggan sebagai orang yang dilayani.
Kecenderungan orientasi yang demikian itu harus berubah dengan menempatkan warga negara (customer) berada pada puncak piramida dengan pemimpin birokrasi pada posisi paling bawah. Ini berarti bahwa segala proses manajemen pelayanan yang dilakukan oleh aparatur pemerintah mempunyai sasaran untuk memuaskan pelanggan/masyarakat yang dilayani. Setiap tingkatan dalam organisasi birokrasi harus berupaya secara sistematis untuk menciptakan kepuasan pelanggan yang dilayaninya.
Orientasi baru pelayanan I masyarakat harus dapat menjadikan masyarakat/pelanggan berada di atas "kursi roda", karena pada hakekatnya setiap organisasi baik publik, privat maupun non provit sadar betul yang menyebabkan ia ada karena dibutuhkan oleh pelanggan/ masya¬rakatnya. Jika tidak lagi diperlukan oleh pelanggan/ masyarakat maka organisasi itu tidak perlu ada. Oleh karena itu, sektor publik harus berupaya untuk meningkatkan kepuasan pelanggan/masyarakat yang dilayaninya. Salah satu konsep dasar dalam memuaskan pelanggan adalah mengacu pada; (1) keistimewaan yang terdiri dari sejumlah keistimewaan produk, baik langsung maupun keistimewaan atraktif (mempunyai daya tarik; (bersifat menyenangkan) yang dapat memenuhi keinginan pelanggan dan dengan demikian dapat memberikan kepuasan dalam penggunaan produk, (2) kualitas terdiri dari segala sesuatu yang bebas dari kekurangan atau kerusakan (Gaspersz, 1997:4).
Acuan kualitas pelayanan nasyarakat seperti yang diuraikan diatas menunjukkan bahwa kualitas ;eialu berfokus pada kepentingan tepuasan pelanggan (customer vcused quality). Menurut Gaspersz (1997) produk-produk didesain, diproduksi, adalah untuk memenuhi keinginan pelanggan. Oleh karena itu ukuran kualitas pelayanan masyarakat mengacu pada segala sesuatu yang menentukan kepuasan pelanggan. Suatu produk barang/jasa yang dihasilkan baru dapat dikatakan berkualitas apabila sesuai dengan keinginan pelanggan, dapat dimanfaatkan dengan baik, serta dapat diproduksi dengan cara yang baik dan benar.
Perilaku Melayani
Faktor determinan utama dalam pelayanan masyarakat adalah unsur manusia yaitu aparatur yang melayani. Oleh karena itu, setiap aparatur senantiasa dituntut untuk memiliki sikap dan prilaku melayani dengan berorientasi kepada terciptanya kepuasan pelanggan/masyarakat. Hal-hal dasar yang perlu dipahami dalam meningkatkan kepuasan pelanggan adalah :
1. Memahami hakekat kepuasan total pelanggan/masyarakat yang dilayani.
2. Menjadikan kualitas sebagai tujuan utama dalam pelayanan
3. Membangun kualitas layanan, dalam sebuah proses yang tidak sekali jadi
4. Menerapkan filasofi, berbicara berdasarkan fakta.
5. Menjalin kemitraan baik internal maupun eksternal.
Aparatur pemerintah yang mendapat kepercayaan untuk melayani masyarakat perlu menyadari diri bahwa pada dirinya dituntut untuk memahami sosak birokrat/aparat pelayan yang dapat memberikan pelayanan prima sebagai berikut :
1. Sensitif dan responsif terhadap peluang dan tantangan yang dihadapi.
2. Dapat mengembangkan fungsi instrumental dengan melakukan terobosan melalui pemikiran yang inovatif dan kreatif.
3. Berwawasan futuris dan sistematis sehingga resiko yang bakal timbul akan diminimalisir.
4. Berkemampuan dalam mengoptimalkan sumber daya yang potensial
Variabel-variabel pelayanan masyarakat seperti disebutkan dapat diimplementasika apabila aparat pelayanan berhasil menjadikan kepuasan pelanggan sebagai tujuan utama. Untuk menjadikan kepuasan pelanggan sebagai tujuan utama maka pelayanan harus dilakukan sepenuh hati. Menurut Patricia Patton (1988) ada lima komponen layanan sepenuh hati :
1. Memahami emosi-emosi kita
2. Kompetensi, yakni kemampuan kita secara propfesional memberikan pelayanan
3. Mengelola emosi, yakni berkaitan dengan keterampilan kita mampu menjadikan diri sendiri, tetapi pada saat yang bersamaan juga mampu mengontrol diri sendiri.
4. Bersifat kreatif dan memotivasi diri untuk maju dan berkembang sesuai dengan tuntutan pelanggan.
5. Menyelaraskan emosi-emosi orang lain
Sistem Pelayanan yang Berfokus pada Pelanggan
Penerapan manajemen kualitas pelayanan yang berfokus pada pelanggan dapat berhasil apabila sejak lebih awal dipahami hambatan-hambatan yang dihadapi dalam memberikan layanan. Salah satu hambatan selama ini yang dihadapi adalah kurangnya kepedulian aparatur dalam menerapkan sistem kualitas pelayanan yang berfokus pada pelanggan. Hasil studi yang dilakukan oleh Master (Gaspersz, 1997:265) menunjukkan bahwa hambatan-hambatan dalam pengembangan sistem manajemen kualitas pelayanan untuk mengukur kepuasan pelanggan adalah sebagai berikut:
1. Ketiadaan komitmen dari manajemen.
2. Ketiadaan pengetahuan atau urang paham tentang manajemen kualitas pelayanan.
3. Ketidakmampuan merubah kultur
4. Ketidaktepatan perencanaan kualitas pelayanan
5. Kurangnya pendidikan dan pelatihan berkelanjutan
6. Ketidakmampuan menbangun suatu learning orgamization yang memberikan perbaikan terus menerus
7. Ketidakcocokan struktur organisasi serta departemen individu yang terisolasi
8. Ketidakcakupan sumber daya
9. Ketidaktepatan system penghargaan dan balas jasa bagi karyawan
10.Ketidaktepatan mengadopsi prinsip-prinsip manajemen kualitas pelayanan ke dalam organisasi,
ketidakefektifan teknik-teknik pengukuran dan ketiadaan akses ke data dan hasil-hasil
11. Berfokus jangka pendek
12. Ketidaktepatan dalam memberikan perhatian pada pelanggan internal dan eksternal
13. Ketidakcocokan kondisi untuk implementasi manajemen kualitas pelayanan.
14. Ketidaktepatan menggunakan pemberdayaan (empower) dan kerjasama (teamwork).
Kesadaran dan pemahaman aparatur yang mendalam terhadap permasalahan kualitas pelayanan masyarakat sangat menentukan kinerja pelayanan yang berfokus pada pelanggan. Seiring hal tersebut untuk memperbaiki kualitas pelayanan masyarakat, sangat penting untuk dipahami dimensi¬dimensi yang harus diutamakan dalam peningkatan kualitas pelayanan. Gapersz (1997) mengidentifikasi dimensi-dimensi pelayanan masyarakat yang berfokus pada pelanggan, adalah :
1. Ketapatan waktu pelayanan, yaitu berkaitan dengan waktu tunggu dan waktu proses.
2. Akurasi pelayanan. berkaitan dengan reliabilitas pelayanan dan bebas dari kesalahan¬-kesalahan.
3. Kesopanan dan keramahan dalam memberikan pelayanan
4. Tanggung jawab, berkaitan dengan penerimaan pesanan dan penanganan keluhan dan pelanggan eksternal.
5. Kelengkapan, yaitu dalam ketersediaan sarana dan prasarana serta pelayanan komplementer lainnya.
6. Kemudahan mendapatkan pelayanan.
7. Variasi model pelayanan berkaitan dengan inovasi untuk memberikan pola-pola baru pelayanan.
8. Pelayanan pribadi, berkaitan dengan fleksibilitas pelayanan.
9. Kenyamanan dalam memperoleh pelayanan.
10. Atribut pendukung pelayanar lainnya. seperti lingkungan kebersihan. ruang tunggu fasilitas musik, AC dan lain sebagainya.
Kepuasan pelanggan/masyarakat hanya dapat diwujudkan apabila aparatur pemerintah memiliki kompetensi, tanggungjawab dan kepedulian yang tinggi untuk all out memberikan segalanya kepada masyarakat yang dilayani, sebab hanya dengan begitu kinerja aparatur kedepan akan dapat ditingkatkan. Oleh karena itu, dimensi-dimensi kualitas pelayanan seperti yang diuraikan di atas sangat penting untuk diperhatikan.
Kepuasan Masyarakat yang Dilayani
Kepuasan pelanggan (ma¬syarakat) merupakan tujuan utama yang ingin dicapai dalam pelayanan masyarakat. Kepuasan pelanggan dapat tercapai apabila kebutuhan, keinginan, dan harapan pelanggan dapat dipenuhi. Karena itu, Tjiptono (1997) menyatakan bahwa terdapat tiga tingkatan harapan pelanggan mengenai kualitas pelayanan, yaitu :
1. Harapan pelanggan yang paling sederhana dan berbentuk asumsi must have, atau take If for granted Misalnya, saya berharap perusahaan penerbangan mener¬bangkan saya sampai tu.iuan dengan selamat.
2. Tingkatan kedua, kepuasan pelanggan dicerminkan dalam pemenuhan persyaratan atau spesifikasi. Misalnya, saya berharap dilayani dengan ramah oleh pegawai perusahaan penerbangan.
3. Tingkatan ketiga, pelanggan menuntut suatu kesenangan (de/ightfu//ness) atau jasa yang begitu bagusnya sehingga membuat saya tertarik. Misal¬nya, perusahaan penerbangan itu memberi semua penumpang rnakanan yang sarna dengan yang khusus diberikan kepada penumpang kelas satu.
Pelayanan masyarakat yang berfokus pada pelanggan adalah menempatkan masyarakat di atas "kursi roda" yang harus didenqar keinginan, harapan, kebutuhan dan keluhan-keluhannya. Aparatur harus menggunakan segala kemampuan, dan semua indera yang dimilikinya untuk memuaskan pelanggan/masyarakat yang dilayani. Macaulay dan Cook (1997) menanggapi keluhan pelanggan dengan menyatakan bahwa pelanggan yang bersusah payah untuk mengajukan keluhan kesuatu organisasi mengharapkan:
1. Ada seseorang yang mende¬ngarkan keluhan itu dan membe¬rikan pemecahannya.
2. Bila hanya berhadapan dengan satu atau dua orang, janganlah mengalihkan mereka dari satu orang ke orang lain atau dari satu unit ke unit lain.
3. Solusi yang cepat dalam menyelesaikan keluhan pelang¬gan tersebut jangan membiarkan keluhan itu terpecahkan sendiri yang hanya menimbulkan ketidakpuasan pelanggan.
Pelayanan masyarakat yang berfokus pelanggan tetap menem¬patkan aparatur pelayan sebagai peran sentral dalam memuaskan kebutuhan pelanggan/masyarakat. Oleh karena itu, mental model aparatur pemerintah selama ini yang cenderung dilayani harus diubah ke mental model aparatur pemerintah sebagai pelayan masyarakat. Dengan begitu anekdot masyarakat selama ini dapat dihilangkan yang menyatakan; " Bila ada pilihan lain untuk memperoleh KTP selain dari Kantor Kelurahan dan Kantor Kecamatan, maka saya akan memilih ke Supermaket, karena! pelayanan di Supermaket pegawainya ramah, selalu senyml menanyakan apa yang dapat dibantu. Sebaliknya kalau warga masyarakat ke Kantor Kelurahan/ Kantor Kecamatan sang paradoksal dengan apa yang tejadii di Supermaket':
Komentar dari Aparatur kita; jika dapat dipersusah mengapa harus dipermudah pelayanannya Sebaliknya, yang menjadi harapan masyarakat aparatur pemerintah akan berkata Jik dapat dipermudah pelayanannya, mengapa hams dipersusah"
Penutup
Pelayanan masyarakat merupakan tugas utama yang harus dilakukan oleh aparatur pemerintah. Oleh karena itu, kinerja aparat pemerintah harus diukur berdasarkan kualitas pelayanan masyarakat yang diberikan terutama berkaitan, dengan adanya kepastian hokum, ketepatan, cepat waktu, keadilan transparansi, keamanan dan sejumlah indikator kepuasan lainnya. Untuk menciptakan kualitas pelayanan yang berfokus kepada pelanggan/masyarakat maka penge¬lolaan pelayanan masyarakat harus ditangani secara profesional, yakni menggunakan manajemen kualitas pelayanan yang mendepankan kepuasan masyarakat yang dilayani di atas segala-galanya. Untuk mencapai hal itu, diperlukan perubahan sikap mental aparat yang lebih suka dilayani menuju pada mental aparat yang lebih suka melayani masyarakat. Seiring perubahan mental tersebut. pengembangan manajemen kuali¬tas pelayanan berkaitan dengan prinsip-prinsip, azas-azas, strategi, dan evaluasi pengukuran kinerja pelayanan akan cenderung diper¬baharui sesuai dengan tuntutan masyarakat terhadap kualitas pelayanan yang diberikan aparatur.
_______________________________________________________________________________
Sumber: http://artikeldanopini.blogspot.com

BALADA PENEGAK HUKUM

Sigit Pamungkas
Institusi kepolisian, kejaksaan, dan kehakiman merupakan pilar penting yang menentukan wajah keadilan.
Dapat dikatakan, seandainya semua institusi negara rusak, selama ketiga institusi itu masih dalam jalur yang tepat, maka keadilan masih akan didapat. Pijar keadilan masih bisa bersinar.
Sebaliknya, seandainya semua institusi negara baik, tetapi institusi kepolisian, kejaksaan, dan kehakiman rusak, maka jangan berharap keadilan akan didapat. Dengan berbagai cara, ketiga institusi itu akan berusaha mempersoalkan berbagai hal sebagai melanggar hukum.
Yang benar dapat berubah menjadi salah dan yang salah dapat dikonstruksi sebagai sesuatu yang benar. Sebab, ketiga institusi itu memiliki otoritas untuk mendefinisikan benar dan salah. Pada titik ini, hanya gerakan rakyat yang dapat menegakkan keadilan.
Celakanya, institusi penegak hukum kita berdiri di tempat yang tidak semestinya. Beberapa kasus besar yang terekspos ke publik, seperti kasus Artalyta Suryani dan perseteruan ”cicak lawan buaya”, memberi tahu kita bahwa lembaga-lembaga itu berdiri kokoh di atas pihak yang seharusnya menjadi seterunya.
Bahkan, saat bukti-bukti telah dipaparkan ke publik, absurditas pembelaan terhadap pelaku kejahatan terus diekspresikan secara vulgar. Penegakan hukum telah dimanipulasi begitu rupa sehingga keadilan hampir terbunuh atas nama penegakan hukum.
Tidak sekadar mafia
Mafia hukum adalah salah satu faktor yang sering disebut sebagai penyebab institusi hukum tidak setia membela keadilan. Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono telah menyadari masalah ini. Dalam program 100 hari pemerintahannya, pemberantasan mafia hukum menjadi salah satu prioritas.
Mafia hukum ini bekerja sebagai jejaring yang mengatur dan memperdagangkan perkara serta sampai pada menentukan bentuk putusan. Nasib keadilan ditentukan bagaimana mafia hukum berpikir tentang hukum. Sebagai sebuah jaringan, mafia hukum bergerak diam-diam. Kerahasiaan amat dijaga, tidak hanya dari intipan publik, tetapi juga dari kolega mereka dalam korps penegak hukum.
Sayang, pencermatan terhadap keluasan dan kedalaman kerusakan hukum membawa kita pada kesimpulan berbeda. Perilaku menyimpang dari aparat hukum tidak hanya berlangsung di tingkat pusat, tetapi juga tingkat bawah. Ia juga berlangsung tak sekadar di wilayah tertentu, tetapi mewabah di semua tempat.
Artinya, penyimpangan itu sebenarnya sudah menjadi perilaku institusi, bukan sekadar jejaring mafia. Ia adalah normalitas institusi, bukan anomali. Ia tak bekerja sembunyi-sembunyi, tetapi telah menjadi ritme dari institusi hukum itu sendiri. Karena itu, menjadi mimpi belaka jika berharap adanya kontrol internal atas perilaku yang menyimpang dari institusi-institusi penegak hukum.
Selain itu, kukuhnya ketidaksetiaan institusi hukum dalam membela keadilan didukung institusi lain di luar institusi hukum yang merasa lebih nyaman dengan kerusakan institusi hukum. Individu-individu korup di jajaran eksekutif, birokrasi, dan parlemen menjadi bagian penting dalam melanggengkan kebobrokan institusi hukum. Sikap diam parlemen terhadap isu pemberantasan korupsi dan tepuk tangan meriah atas penjelasan Kepala Polri tentang konflik ”cicak melawan buaya” mengindikasikan hal itu.
Para koruptor di parlemen dan eksekutif justru akan terancam dengan institusi hukum yang kuat. Karena itu, jalan terbaik agar mereka tetap selamat adalah membiarkan normalitas penyimpangan institusi-institusi hukum. Dengan cara itu, terjadi pengaruh timbal balik. Kerusakan institusi hukum memberi nilai strategis bagi individu-individu korup di jajaran birokrasi, eksekutif, dan parlemen.
Karena itu, menjadi tidak aneh jika mereka yang duduk di eksekutif dan parlemen akan selalu menjadi pembela pertama atas absurditas institusi hukum dalam memberantas korupsi.
Memperkuat anomali
Dalam kerangka itu, oleh institusi hukum lainnya KPK dipandang sebagai anomali. Anomali atas kesetiaan institusi-institusi hukum konvensional yang kukuh berpihak pada ketidakadilan. Oleh institusi hukum konvensional, kehadiran KPK tidak sekadar dianggap mengurangi kewenangan. Ia juga tidak sekadar rivalitas kewenangan.
Lebih dari itu, kehadiran KPK dianggap sebagai institusi yang akan membunuh normalitas perilaku mereka. Institusi-institusi itu menempatkan KPK sebagai musuh, bukan mitra. Maka, tak aneh jika antusiasme dari institusi-institusi hukum dan individu-individu korup amat tinggi dalam melemahkan KPK.
Di institusi-institusi negara, kini KPK hampir-hampir tak ada pembelanya. Kalaupun ada, jumlahnya amat terbatas. Rakyatlah kini tumpuannya. Dalam konteks itu, terbayangkan terjadi repetisi gerakan 1998. Gelagat itu sudah ada. Kapan akan segera membesar?

Oleh :
Sigit Pamungkas Dosen Jurusan Ilmu Pemerintahan Fisipol UGM
_______________________________________________________________________________
sumber: http://opinikompas.blogspot.com

GOOD GOVERNANCE (Paradigma Baru Manajemen Pembangunan)

Oleh: Bintoro Tjokroamidjojo
         Bersamaan dengan reformasi dari sistem politik ke arah yang lebih demokratis, berkembang pula pemikiran tentang good governance, kepemerintahan (pengurusan pemerintah) yang baik. Tetapi pengertiannya masih simpang siur, pada umumnya mengartikan good governance dengan pemerintahan yang bersih, atau clean government. Seringkali juga mengarah pada pemerintahan yang bersih dan berwibawa. Disini diajukan suatu pemikiran awal, tentang good governance sebagai paradigma baru manajemen pembangunan.
Good Governance adalah suatu bentuk manajemen pembangunan, yang disebut administrasi pembangunan. Administrasi Pemabangunan atau Manajemen Pemangunanmenempatkan peran sentral. Pemerintah menjadi agent of Change dari suatu masyarakat (berkembang) dalam negara berkembang. Agent of change (agen perubahan), dan karena perubahan yang di kehendaki, planned change, maka juga disebut agent of development. Pendorong proses pembangunan, perubahan masyarakat bangsa. Pemerintah mendorong melalui kebijaksanaan-kebijaksanaan dan program-program, proyek-proyek, bahkan industri-industri, dan peran perencanaan dan budget yang penting. Perencanaan dan budget juga menstimulasi investasi sektor swasta. Kebijakan dan persetujuan penanaman modaldi tangan pemerintah.
Dalam good governance tidak lagi pemerintah, tetapi juga citizen, masyarakat dan terutamasektor usaha yang berperan dalam governace. Ini juga karenaperubahan paradigma pembangunan dengan peninjauan ulang peran pemerintah dalam pembangunan, yang semula bertindak sebagai regulator dan pelaku pasar, menjadi bagaimana menciptakan iklim yang kondusif dan melakukan investasi prasarana yang mendukung dunia usaha.
Justru usaha pembangunandilakukan melalui koordinasi atau sinergi (kelelarasan kerja) antara pemerintah-masyarakat-swasta. Mungkin dapat dilihat sebagai bentuk pemerintah memberdayakan masyarakat terutama sektor usaha agar menjadi agent of change dari masyarakat bangsa, dan dengan begitu menjadi partner pemerintah.
Bahkan masyarakat/dunia usaha akan lebih berperan nyata dalam perubahan masyarakat. Didunia sekarang sudah lebih private sector led growth. Justru diperlukan sinergi antar pemerintah dengan masyarakat, terutama dengan dunia usaha/swasta.
Mengenai citizen, masyarakat dimaksud adalah masyarakat yang terorganisir. Seperti misalnya LSM. Asosiasi-asosiasi kerja dan profesi, bahkan paguyuban.
Good geovernance oleh karena itu dimaksud mendukung proses pembangunan yang empower sumber daya dan pengembangan intstitusi yang sehat menujang sistem produksi yang efesien.
Memang good governace dalam sejarah perkembangan program Bank Dunia lebih diarahkan untuk pembangunan ekonomi. Misalnya, upaya menghilangkan negative influencing factor hindering positive economic development.
Perkembangan Peradigma from Govermenet to Governance.
Perkembangan kearah good governace ini juga bisa dilihat dari perkembangan ilmu administrasi (public administration)
Bagaimana mengurus suatu pemerintahan yang baik. Bagaimana mengurus organisasi dan tata kerja pemerintahan yang baik, kepegawaian negeri yang efesien dan efektif. Perumusan tujuan pemerintahan, kepemimpinan dan pergerakan aparatur, pengawasan fungsionaldan sebagainya.
Sekarang pun masalah ini masih ada misalnya, masalah pembagian jabatan politis dengan jabatan karier dalam organisasi pemerintahan. Restrukturisasi, pengorganisasian dan relokasi kepegawaian karena otonomi daerah.
Kemudian,berkembang administrasi atau Manajemen Pembangunan terutama negara negara berkembang yang mempunyai niat mengusahakan terselengaranya pembangunan.Apakah ini dalam arti pendapatan perkapita yang meningkat, distribusi pendapatan yang lebih adil, pada pokoknya peningkatan kesejahteraan hidup anggota masyarakat. Ada yang menyebut yang dituju adalah quality of life (M.Soerjani). untuk mengusahakan kearah itu, pemerintah berperan sebagai pendorong proses pembangunan. Sebagai agent of charge. Dan ini dilakukan melalui instrumen kebijakan (policy), perencanaan (Planning), dan anggaran (Budget). Rinciannya, malalui berbagai program danproyek untuk meningkatkan peran usaha menengah dan kecil ada program dan proyek . untuk meningkatkan peran usaha menengah dan kecil ada program dan proyek dari pemerintah. Demikian untuk KB dan lain sebagainya. Dalam perkembangan industri pemerintah mempelopori dengan infant industries. Bahkan industrial park. Inijuga dengan pengembangan intitusi keuanagn seperti perbankan dan intitusi keuangan non bank (misalnya,Venture capital). Tetapi yang jelas dalam paradigma ini pemerintah adalah the agent of change.Mungkin ini perlu karena belum ada effective capacity disektor swasta dan juga di masyarakat (LSM masih belum berdaya).
Perubahan Besar Peranan Negara dalam Manajemen Pembangunan.
Dalam dua buku World Development Report, Bank Dunia tahun 1997 dan 1998 yaitu :
1. From Plan to Market (World Development Report, 1997).
2. The Role of the State in a Changing World ( World Development Report, 1998)
Digambarkan adanya shift penting peranan negara yang dominan melalui perencanaan ekonomi, kearah pemanfaatan ekonomi dan mekanisme pasar sebagai dasar pengambilan kebijakan pemerintahan dan keputusan (transaksi) ekonomi oleh masyarakat sendiri. Yang bermula sebagai agent of development – yaitu semula strategidan kebijaksanaan mendorong pembangunansosial ekonomi dilakukan oleh Pemerintah, berkembang kearah upaya utama pembangunan melalui peran masyarakat khususnya sektor swasta ini juga disebut perkembangan dari Public Sector Led kearah Private Sector Led Development. Suatu perkembangan daripada manajemen pembangunan yang lebih mendasarkan pada upaya pertumbuhan pembangunan melalui pemanfaatan mekanisme pasar melalui market driven growth. Perkembangan ini juga terjadi bersamaan dengan perkembangan dari kebijakasanaan subtitusi impor kearah expor kepasar dunia. Dari Manajemen ekonomi dan Inward looking – ke manajemen ekonomi yang Outward Looking ekonomi. Dalam hubungan dengan ekeonomi luar (Dunia). Interaksi hubungan luar negeripun tidak hanya dilakukan oleh pemerintah melainkan sektor swasta dan organisasi masyarakat. Kenyataan ini juga mendorong berkembangnya good governace.
Jadi dengan sendirinya dalam good governace bukan pemerintah dengan birokrasi yang besar (ngedapyah) yang diperlukan. Yang menurut Osborne dan Plastrik dalam Banishing Bureucracy perlu dilakukan downsizing/privatization dalam birokrasi, disamping fasilitasi dan empower organisasi masyarakat dan sektor swasta. Peran utama public governance lebih pada policy facilitation and implementation, yaitu sebagai”enabler”.
Kasus Perkembangan di Vietnam dengan Do Moi
Kasus perkembangan di Vietnam ini dapat dijadikan contoh kasus dari negara yang (pemerintah Overdominant) ke arah pemberdayaan sektor masyarakat.
Pham Chi Lau, Sekertaris Jenderal KADIN Vietnam mengemukakan bahwa Vietnam dalam dasawarsa akhir-akhir ini telah melalui suatu reformasi yang komperhensif yang disebut sebagai Do Moi. Suatu reformasi yang merupakan turning point dari sejarah modern Vietnam. Vietnam betul betul mengikuti trend perkembangan dunia yang disebut terdahulu yaitu from plan to market, dan lebih berperannya intitusi-intitusi disektor masyarakat/swasta dalam ekonomi.
Beberapa elemen dalam perkembangan tersebut adalah seperti disebutnya :
1. State ekonomi berkembang kearah Private economy dan lain-lain, developing productive forces and enhancing the effectivenees of the economy.
2. Shifting from mechanism sebagai landasan macro economic management by the state and business autonomy of all enterprise and citizen.

3. Shifting formautarkic closed economic structure kearah open economic and relation without side world (integrasi dalam pasar global).
4. Economic reform yang menggunakan economic stability growth.
5. Berkembang kearah private sector led economy. God coordination between the government and Business community(unsur-unsur dari good governance).
6. Semua ini ditunjang oleh Legal framework, policy sistem, economic enviroment and business representattive mechanism.
Demikian juga terjadi di RRC dimana mereka adopt yang disebut Sosialist market economy.
Good Governance bukan Clean Government bukan juga Pemerintah yang bersih dan berwibawa.
Clean Government merupakan bagian dari Good Governance. Karena partisipasi/koordinasi Pemerintah/Organisasi Masyarakat-Swasta itu jangan KKN.
Good Governance,adalah dimna birokrasi berperan enabling, empowering bukan justru membebani dengan bureucratic cost.
Sektor publik (pemerintah), melakukan koordinasi atau sinergi dengan sektor masyarakat(private sector), sektor masyarakat terutama dunia usaha kearah Output transaksional yang diharapakanthe most efficient, yangpaling ekonomistmelalui mekanisme pasar yang sehat (The less seocial cost).
Mengacu pada istilah Oliver Williamson dan Barneydan Oucki, dikemukakan bahwa “Good Governance” dapat dicapai melalui pengaturan yang tepat dari fungsi pasar dengan fungsi organisasi termasuk organisasi publik sehingga tercapai transaksi-transaksi dengan biaya transaksi paling rendah.
Mekanisme pasar dan demokrasi menjadi saringan pengambil keputusan masyarakat yang memberikan 3 level playing field, medan persaingan yang sama bagi semua, untuk melakukan kegiatan (usaha)/hidup bermasyarakat.
-tipe ideal Good Governance adalah dimna terjadi sesuatu pengurusan yang compatible saling mendukung dengan ; ekonomi pasar (mekanisme pasar yang fair /sehat); Rule of Law dan concern for the Environment.
Good governance juga termasuk clean government (dalam literatur terutama Bank dunia disebut Against corruption and patronage) kalau di Indonesia dapat disebut sebagai anti KKN. Ini karena dua prinsip penting Good Governance adalah Akuntabilitas dan transparency,
Masalahnya ekonomi pasar yang sehat itu perlu didukung competition law dan regulatory policis yang transparan dan adil (tidak ada monopoli, discriminatory measures dan lain-lain). Di Indonesia telah di kembangkan UU tentang Perseroan Terbatas, UU tentang Larangan Usaha Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, UU Perlindungan Konsumen dan lain-lain. Sekarang ada masyarakat Transparancy, Indonesian corruption Watch, Ombudsman dan lain sebagainya.
Dalam Good Governance kebijakan (Intervensi) Publik Masih Perlu
Apakah dalam Good Governance peran tidak legitimate untuk mengintervensi ekonomi. Menurut penulis bias, sebagai fasilitasi dan enabler pemerintah tidaklah duduk di side walk, bisa intervensi (public intervention). Misalanya, apabila ekonomi pasar menjadi tidak sehat (distorsi) dimnaw jalannya mekanisme pasar dimanfaatkan oleh pelaku-pleaku ekonomi dengan motif untung yang tanpa kendalai (kapitalisme). Terjadilah dalam transaksi ekomomi free fight competition, bahkan kompetisi tidak fair, karena kekuatan ekonomi yang memaksa (monopoli). Disini penulis berpendapat masih ada hak pengendalian pemerintah, Hal ini juga pengaruh kuat pemikiran “The Third Way dari Anthony Giddens” tentang social democracy.
1. Untuk menciptakan kondisi makro ekonomi yang stabil conducive environment untuk kegiatan ekonomi, terutama investasidan perdaganagn birokrsai yang efesien dan enabling.
2. Untuk Fostering Market. Pasar modal, pasar uang , pasar barang, pasar jasa dan lain-lain yang sehat dan kuat. Kadang kadang malah memperbaiki institusi-institusi pasar yang bobrok.
3. Untuk memperbaiki, menyehatkan jalan ekonomi pasar, koreksi market Distortions, Price relationship, kebijaksanaan penghapusan subsidi.
4. Untuk keadilan, memberayakan yang kurang mampu agar dapat mencapai a level playing field dengan yang lain (dengan cara yang market friendly). Misalnya, kebijakan Venture Capital kebijakan Capacity Building, SDM, Pendidikan, Kesehatan, Ilmu Pengetahuam juga infrastruktur. Termasuk penelitiandasar terapan.
Unsur-unsur Utama Good Governance
1. Akunbilitas (accountability) tanggung jawab dan tanggung gugat dari pengurusan, dari governace. Akuntabilitas politik, keuangan dan hokum.
2. Tranparansi Rumusan kebijaksanaan politik, tender pelelangan dan lain-lain secara transparan.
3. Keterbukaan (openness) Pemberian informasi, adanya Open free Suggestion, dan critic (partisipasi). Keterbukaan ekonomi,politik.
4. Aturan hokum (Rule of Law) jaminan kepastian hokum dan rasa keadilan masyarakat terhadap setiap kebijakan publik yang ditempuh. Juga dalam social economic transaction.Conflict resolution berdasarkan hokum (termasuk berdasar hokum (termasuk arbitrase). Dasar-dasar dan institusi hokum yang baik sebagai infrastruktur good governance.
5. Ada yang menambahkan jaminan fairness, a level playing field (perlakuan yang adil)
Ada pemikiran dariBryant menambahkan dalam unsure good governance, management competency dan human right.
Indikator Keberhasilan Good Governance (secara makro dan secara sektoral).
Dalam praktek good governance perlu dikembangkan indicator keberhasilan good governance itu. Keberhasilan secara umum dapat dilihat dari indicator ekonomi makro dan tujuan-tujuan pembangunan atau Quality of life yang dituju. Tetapi bisa juga secara sektoral (produksi tertentu, jaringan jalan, tingkat atau penyebaran pendidikan).
Pelayanan public UU No.1/ 1995.Koordinasi sector public dan swasta. ISO 14.000 Lingkunagn Hidup. ISO 9000 Kendali Mutu. Sertifikasi dan Standaritasi. MRA Standard and Conformance.
_______________________________________________________________________________
Sumber:http://artikeldanopini.blogspot.com