Jumat, 28 Juni 2013

PEMILU DAN DEMOKRASI PROSEDURAL VS SUBSTANSI

 1. Mempersiapkan cara Baru Pengganti PEMILU
          Pemilu (KPU, PANWAS, dll), pemilih (voters/perilaku pemilih) dan partai politik, merupakan tiga pilar utama dari rezim demokrasi prosedural. ketiga pilar tersebut masing-masing memiliki potensi untuk dijadikan indikator tentang keberhasilan dan kegagalan pelaksanaan suatu pemilu.


Apa itu Pemilu?

Pemilu menjadi salah satu jalan alternatif yang paling banyak digunakan oleh nehara-negara di dunia (yang mengkkalim sebagai negara demokrasi) dalam mengatur dan mengelola sirkulasi pemimpin, yang walaupun dalam pelaksanaanya terdapat berbagai varian. Pemilu dalam konteks indonesia dewasa ini, pemilu hanya berfungsi sebagai sarana dan arena untuk membentuk perwakilan politik, dengan cara memilih para wakil yang akan duduk dilembaga perwakilan legislatif, maupun memilih pemimpin puncak eksekutif. sehingga ia (pemilu) hanya mampu melahirkan figur politik atas nama demokrasi.secara sederhana kita seringkali medefenisikan Pemilu sebagai arena kontestasi elit yang berkompetisi untuk mengisi jabatan politik di pemerintahan
Pada zaman Modern seperti saat ini, pemilu menjadi penting karena: Pertama, pemilu sebagai mekanisme keberlangsungan demokrasi perwakilan. Kedua, pemilu menjadi indikator negara demokrasi.Ketiga, Pemilu juga terkait dengan implikasi-implikasi yg luas secara politik, ekonomi dan sosial (dari pemilu); termasuk menjadi metode alternatif digunakan oleh kelompok-kelompok penekan dalam memperlemah dan mengakhiri rezim-rezim otoriter. seperti dalam perspektif Schumpeterian tentang demokrasi: dimana ia menyebutkan demokrasi sebagai “metode politik”. pendapat ini sekaligus mendominasi teorisasi demokrasi, sehingga banyak kalangan memberikan konklusi bahwa pemilu menjadi elemen penting untuk mengukur kadar demokrasi suatu negara.

Kegelisahan penulis adalah, kenapa kita harus percaya pada rezim pemilu, tidak itu hanya model labelisasi atas sebuah sistem yang disepakati oleh siapapun, dan apakah kita tidak mampu menyepakati metodelain selain pemilu sembari kita melabelkannya degan versi bangsa kita???? Prezeworski dkk mengingatkan bahwa jika demokrasi hanya dipahami sebagai “sekedar rezimisasi yg menyelenggarakan pemilu untuk mengisi jabatan-jabatan pemerintahan”, maka pemilu akan melahir aktor-aktor; pejabat-pejabat publik yang kotor dan mendapat legitimasi secara politik, namun tidak menjadikan legitimasi tersebut sebagi basis fondasi dalam melakukan kebaikan-kebaikan terhadap rakyat. Sedangkan kritik sering kita jumpai dalam pelaksanaan demokrasi elektoral (pemilu) kita saat ini yaitu hight cos (ekonomi, sosial dan politik. Baik pemilu nansional maupun dalam konteks pilkada. Biaya pemilu (secara finansial) yang mahal tersebut seringkali tidak paralel atas terwujudnya kesejahteraan rakyat, atau paling tidak secara minimalis melahirkan pemimpin-pemimpin yang pro rakyat, pro poor dan pro growth. Justru pemilu menciptakan ruang resistensi sosial pada level grassroot (munculnya berabagai konflik sosial politik di tingkata masyarakat) sebagai akibat dari pemilu dan hasil pemilu tersebut. Hal ini diperparah dengan kondisi tidak berjalanya fungsi-fungsi partai politik dalam melakukan pendidikan dan pemberdayaan politik kepada masyarakat.

Kondisi inilah sekiranya kita harus belajar mencari formulasi baru sebagai pengganti demokrasi electoral (pemilu), sebab dalam perspekktif kritis saya, bahwa mencari pemimpin itu tidak sulit, dan justru prosedur-prosedur yang kita adopsi-lah yang mempersulit lahirnya dan munculnya pemimpin-pemimpin yang berkualitas.

Statement penulis: hampir tidak ada dinegeri ini orang miski yang punya kesempatan jadi pemimpin, karena memang prosedur dan sistem kita hanya memberikan peluang bagi mereka yang kaya saja untuk mengisi jabatan-jabatan publik (politik) dibangsa ini.


kalu kita sepakat mengatakan pemilu itu cara atau metode, maka masih banyak metode atau cara lain yang lebih bijak dan relevan dalam "menemukan" pemimpin di bangsa ini, baik untuk tingkat nasional maupun tingkat lokal.


Menyimak berbagai kasus dan kegagalan pemilu melahirkan pemimpin yang pro rakyat, maka sudah sepantasnya saya dan juga teman-teman sepakat bahwa rezim pemilu berada diambang kegagalan, karena secara prosedural dari keseluruhan rangkaian pentahapan pemilu yang telah dilewati tidak satupun tahapan pemilu yang dapat dilalui dengan baik (jujur dan adil. Tahapan-tahapan tersebut justru menimbulkan berbagai maslaha sosial dan politik. (liat pemilu 2004 dan 2009 serta rangkaian pilkada di indonesia). Pemilu hanya menjadi seremonial dari demokrasi dan menegasikan kualitas dari proses tersebut, berbagai kecurangan dan manipulatif terjadi pada seluruh tahapan pemilu.

Kita perlu renungkan kembali dan mengkritisi dengan pernyataan-pernyataan bahwa Pemilu merupakan sarana rakyat untuk berdaulat atas dirinya sendiri, yang tepat adalah pemilu sebagai sarana sekelompok orang untuk menindas rakyat melalui cara yang konstitusional.

2. SBY: Unggul pada Prosedur Demokrasi dan GAGAL secara Subtansi


       Bangsa ini telah melakukan perubahan mendasar pada tataran sistem negara, sehingga mendapat apresiasi dari dunia internasional terkait keberhasilan Indonesia dalam menjalan “model demokrasi prosedural” ( J. Schumpeter; 1942) yang ditandai dengan keberhasilan bangsa ini melakukan sirkulasi kekuasaan dengan cara pemilu. Walaupun pada tataran empirik, pemilu yg dilaksanakan maasih menyisahkan berbagai persoalan manipulasi dan kecurangan-kecurangan. Jika pemilu (demokrasi) dipandang sebagai model yg paling relevan bg bangsa ini sbg jalan utk mengelola dan mengurus rakyat-bangsa, maka seharusnya kontrak sosial antara rakyat dengan pemerintah akan menjadi lebih efektif, krn sistem demokrasi mengajarkan pentingnya menjalankan secara totaliter mandat-mandat rakyat yang diaplikasikan dalam berbagai bentuk kebijakan- dan kebajikan yang pro rakyat ( pro poor, pro growth). seperti yang dikemukakan oleh John Locke tentang contrac social, dimana demokrasi menjadi arena atau ruang terciptanya kontak sosial antara rakyat dan pemerintah, dan pemerintah yang baik adalah pemerintah yang berhasil menjalankan mandat rakyatnya, dan bukan pemerintahan yang lebay dan mengedepankan pencitraan individu dbg basis perbaikan nasib rakyat.Pemerintahan SBY-Budiono yag seringkali bangga dengan kemenangan mutlak pada pemilu 2009 yg lalu, idealnya adl pemerintah yg memiliki legitimasi yg kuat, hal ini didukung oleh peroleh kursi di DPR yg signifikan serta dibantu oleh koalisi yg relatif besar. Tp toh.. apa yg dihasilkan oleh pemerintahan yg “legitimasi tersebut? apa yg telah mereka perbuat utk kepentingan rakyat (secara luas?. Justru yang terjadi adalah anomali-anomali dari legitimasi demokrasi.Pemerintah yang terbentuk atas kehendak rakyat, akan tetapi bertindak atas kehendak partai politik dan kehendak kelompok-kelompok borjuasi hitam.Secara normatif pemerintahan SBY memahami demokrasi sebagai “kehendak rakyat” (the will of the people), tapi ia lalai dengan prinsip lain soal kebaikan bersama, atau kebajikan publik (the common good) (Montesque). ha ini karena pemerintahan SBY hanya melihat demokrasi dari sumbernya saja dan bukan dari tujuan demokrasi (Thomas Hobbes). Pemerintahan SBY keliru mengimplemntasikan demokrasi, yg lebih cenderung dimaknai sebagai respon terhadap paham yang memberikan kekuasaan mutlak pada negara, baik berbasiskan proseduralisme teokratis maupun duniawi seperti dalam konsep Thomas Hobbes tentang Laviathan.


Jika menyimak dlm pandangan demokrasi klasik, pemerintahan konstitusional harus mampu membatasi & membagi kekuasaan mayoritas & sekaligus dpt melindungi kebebasan individu, hak-hak warga negara sbg sebuah nation-state, maka sesungguhnya pemerintah SBY-Budiono gagal melakukan hal tersebut (simak berbagai kasus kekerasan dan konflik). Negara dan pemerintah sesungguhnya diciptakan untuk menjamin kndisi rakyat agar menjadi baik, menjawab segala tuntutan rakyat soal terwujudnya welfare state, seperti yg diingatkan oleh Jhon Locke, bahwa negara diciptakan karena suatu perjanjian (kontrak) kemasyarakatan antar rakyat. dengan tjuannya melindungi hak milik, hidup & kebebasan dari berbagai ancaman bahaya. tetapi hal tersebut juga GAGAL dilakukan leh pemerintahan SBY. Pemerinthan SBY hanya mengabil pandangan demokrasi klasik pada aspek normativ dan utopis dan sisi lain mengadopsi model demokrasi ala Schumpeterian pada aspek proseduralnya (dan itu-pun tidak tuntas) dan menegasikan konsep empirisme, deskriptif, dan institusional.Kita ketahui bhw dalam sistem demokrasi prosedural, demokrasi sebagai suatu sistem pemerintahan harus memenuhi tiga syarat pokok:1) kompetisi yang sungguh-2 dan meluas antara individu dan atau kelompok (terutama parpol) untuk memperebutkan jabatan-jabatan pemerintahan; 2). Partisipasi politik yg melibatkan sebanyak mungkin warga dlm pemilihan pemimpin & kebijakan, paling tidak melalui pemilu secara reguler dan adil, tak satupun kelompok dikecualikan;3). Kebebasan sipil & politik (berbicara, pers, berserikat) yg cukup menjamin intergritas kompetisi & partisipasi politik. (Sistem “demokrasi electoral” merupakan sebuah bentuk atau metode berdemokrasi ala Scumpterian).Rujukan: Joseph Schumpeter “Capitalism, Socialism and Democracy” (1942). Dan dalam bukunya tersebut schumpeter mengingatkan bhw apa yg disebut kehendak rakyat sebenarnya hasil dari proses politik, bukan motor penggeraknya, dan Schumpeter menekankan pada prosedur atau metode demokrasi. dan inilah yg kemudian dijadikan acuan oleh pemerintah termasuk politisi-politisi demokrat dan yg berperan sbg penjilat SBY. (baca Palma, Dahl, Przeworski, Huntington, Diamond, Linz dan Lipset).


Secara substantif Demokrasi pada dasarnya dibangun dengan landasan etis dan moraliti yang mencakup nilai-nilai moral, pemikiran kritis, fair, yang kesemua itu muncul dalam tiap praktek pada arena politik dan ekonomi. dan pemerintah mengejawantahkanya dalam tataran empirik obyektif melaui praktek-pratek kebijakan ekonomi, politik, sosial, budaya dan bahkan agama, mendorong pada perbaikan nasib rakyat sebagai warga negara. Negara harus selalu hadir untuk rakyatnya, dalam kondisi apapupun.

Landasan moraliti demokrasi tentunya dipahami sebagai mekanisme penciptaan tata pemerintahan yang punya empathic terhadap rakyatnya secara konkrit, dan bukan hanya melalui proses pencitraan pemimpin semata. sehingga keteladan terhadap pemimpin menrujuk pada aspek sistem bukan pada perilaku individu semata. Hal ini lah yang terjadi saat ini, dimana SBY mengidolakan dirinya sendiri agar menjadi idola rakyat.

Demokrasi bukan tujuan, demokrasi secara subtantif merupakan jalan alternatif menuju perbaikan relasi negara dan rakyat dalam rangka mewujudkan kebaikan bersama serta mempermudah berlangsungnya kontrak sosial.

Oleh :
Syarief Aryfa'id

Penulis adalah Staf Pengajar Ilmu Pemerintahan STPMD “APMD” Yogyakarta.
Sumber :  Pemilu & Demokrasi Prosedural vs Substansi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar