A. Teori ketergantungan
Para
Pendahulu teori ketergantungan berpendapat adanya perdebatan antara
imperialisme dan kolonialisme yang berupaya memecahkan pertanyaan
mengenai faktor yang menyebabkan ekspansi negara Eropa ke negara-negara
Asia dan Afrika.
Kelompok
teori yang pertama yaitu teori God dalam teori ini diungkapkan bahwa
awal ekspansi negara Eropa adalah keinginan mereka untuk menyebarluaskan
agama mereka kepada peradaban-peradaban yang mereka anggap masih
bar-bar. Dengan demikian mereka akan mendapat pahala dari agamanya
karena berhasil membantu orang lain terbebas dari dosa dan siksa neraka.
Teori
kedua adalah kelompok teori Glory. Teori ini berpendapat bahwa orang
Eropa melakukan ekspansi atau imperialisme karena kehausan mereka akan
kekuasaan dan kebesaran. Tokoh utamanya adalah J.A Schumpeter yang
mengatakan bahwa dorongan utama dari imperialisme dan kolonialisme
adalah kehausan akan kekuasaan, karena tidak jarang dari negara-negara
imperialisme mengalami kerugian dari segi ekonomi akibat ekspansi yang mereka lakukan. Imperialisme adalah manifestasi insting agresifisme
pada diri manusia. Kecenderungan tanpa obyek yang jelas dari suatu
negara untuk melakukan ekspansi, tetapi teori ini mendapat banyak kritik
terutama disampaikan oleh Greene yang mengungkapkan bahwa dari fakta,
orang-orang berperang untuk menguasai padang rumput yang lebih luas atau
lahan yang lebih subur. Hal ini berarti definisi yang dikemukakan
Schumpeter mengenai kecenderungan orang berperang semata-mata karena
insting mereka untuk berperang tanpa obyek yang hendak di capai
terpatahkan.
Kelompok
teori berikutnya adalah teori Gold yang pada intinya menyampaikan bahwa
imperialisme dan kolonialisme di dorong oleh keinginan untuk memperoleh
keuntungan ekonomi. Tokoh utama
teori ini dipelopori oleh Hobson yang mengemukakan bahwa negara-negara
maju terdorong untuk melakukan imperialisme dan kolonialisme karena
usahanya untuk mencari pasar baru dan lahan investasi yang lebih
menguntungkan. Menurut Hobson,
cara mengatasi imperialisme adalah melalui pembaharuan sosial yang
bertujuan untuk meningkatkan standar konsumsi pribadi dan konsumsi masyarakat supaya dapat tetap mempertahankan standar konsumsinya untuk menyerap hasil-hasil produksinya.
Menurut Lenin, tujuan utama kapitalisme adalah untuk memperoleh
keuntungan yang sebanyak-banyaknya sehingga dua cara yang dilakukan
agar kapitalisme dapat terus bertahan adalah dengan cara menaikkan
produksi dalam negeri, menurunkan harga barang, dan menaikkan upah
buruh. Tetapi keuntungan yang diperoleh akan berkurang dan alternatif
kedua adalah pergi ke luar negeri dan menjajah negeri tersebut dengan
demikian keuntungan yang diperoleh semakin besar.
Berbeda dengan pendapat Marx, Paul Baron berpendapat bahwa sentuhan atau uluran tangan negara maju terhadap
negara berkembang bukan membantu negara bersangkutan untuk maju,
melainkan akan semakin menghambat kemajuan negara yang bersangkutan
bahkan yang terjadi adalah penyusutan modal di negara-negara berkembang.
Negara-nagara berkembang terus mempertahankan sistem
pertaniannya dan hasilnya diperuntukkan untuk memperoleh barang-barang
industri sehingga modal yang semula diberikan kembali terkumpul pada
negara-negara maju.
Menurut Baron, kapitalisme di negara-negara maju berkembang akibat :
1. Meningkatnya industri yang diikuti tercabutnya masyarakat petani dari pedesaan.
2. Meningkatnya
produksi komoditi dan terjadinya pembagian kerja yang mengakibatkan
sebagian orang menjadi buruh yang menjual tenaga kerjanya sehingga sulit
menjadi kaya dan sebagian lagi menjadi majikan yang bisa mengumpulkan
harta.
3. Mengumpulkan harta dari tangan para pedagang dan tuan tanah.
Berbicara
mengenai teori ketergantungan lebih lanjut, Theonio Dos Santos
memberikan definisi yang pada intinya menyatakan bahwa yang dimaksud
ketergantungan adalah suatu
keadaan dimana kehidupan ekonomi suatu negara dipengaruhi oleh
perkembangan dan ekspansi dari negara-negara lain dimana negara-negara
tertentu ini hanya berperan sebagai penerima akibatnya.
Dua
pandangan pokok dari teori ketergantungan adalah negara-negara
pinggiran yang pada kapitalis mempunyai dinamika sendiri, bila tidak
disentuh oleh negara-negara kapitalis maju, akan berkembang secara
mandiri dan justru karena sentuhan oleh negara-negara kapitalis maju
ini, maka pertumbuhan negara pinggiran menjadi terhambat. Oleh para
penganut paham liberal, hubungan antara negara-negara berkembang
membutuhkan barang-barang industri untuk pembangunan dan negara-negara
pusat membutuhkan bahan baku untuk industrinya, tetapi derajat
ketergantungan antara keduanya berbeda. Hubungannya dapat di analogikan
hubungan antara buruh dan majikan. Perubahan yang terjadi pada negara
pinggiran sementara perubahan yang terjadi di negara pinggiran tidak
terlalu berpengaruh terhadap negara pusat.
Gejala
ketergantungan dianalisis dengan pendekatan keseluruhnya yang memberi
tekanan pada sistem dunia. Ketergantungan adalah akibat proses
kapitalisme global, dimana negara-negara pinggiran kebagian peran
sebagai “pelengkap penyerta” saja. Keseluruhan dinamika dan mekanisme
kapitalisme dunialah yang menjadi perhatian pendekatan ini. Kasus
negara-negara yang ada hanya merupakan bagian dari keseluruhan dinamika
ini, yang tidak banyak menentukan. Andre Gunder Frank, misalnya
merupakan wakil dari pendekatan ini.
Sebagian
pengikut teori ketergantungan beranggapan bahwa faktor eksternallah
yang lebih penting. Tentu saja ini tidak berarti bahwa faktor internal
tidak berperan. Tetapi faktor eksternal lebih ditekankan, seperti
misalnya pada tulisan-tulisan Frank. Dos Santos secara lebih lanjut
berbicara tentang faktor eksternal yang mempengaruhi (conditioning)
proses pembangunan di negara-negara pinggiran bukan menentukan
(determining). Memang dia tidak menekankan pentingnya pengaruh dari
luar, meskipun tidak mutlak menentukan. Artinya, faktor-faktor internal
pun punya peran.
Teori
ketergantungan dimulai sebagai masalah ekonomi, dan baru kemudian
berkembang menjadi analisis sosial politik, dimana analisis ekonomi
hanya merupakan bagian dari pendekatan yang multi dan interdisipliner
ini.
Pemikiran
tentang teori ketergantungan yang menekankan analisis sosiopolitik,
terutama menekankan pembahasan tentang analisis klas, kelompok-kelompok
sosial, dan peran pemerintah di negara-negara pinggiran.
Penganut
Marxis klasik melihat perkembangan sejarah sebagai sesuatu yang
deterministik. Masyarakat misalnya pasti akan berkembang sesuai dengan
tahapannya ; dari feodalisme ke kapitalisme, dan daru kemudian sampai
pada sosialisme. Karena itu, ketika teori ketergantungan berkembang di
Amerika Latin, banyak pemikir Marxis beranggapan bahwa mereka harus
menciptakan kapitalisme dulu (karena mereka beranggapan bahwa masyarakat
Amerika Latin masih feudal), sebelum mengubahnya menjadi negara
sosialis.
Penganut
neo-Marxis seperti Frank kemudian mengubahnya melalui Teori
Ketergantungan. Menurut dia, masyarakat Amerika Latin bukan feodal,
melainkan sudah kapitalistik. Tetapi, berbeda dengan kapitalisme di
negara-negara pusat, nasib kapitalisme di negara-negara pinggiran adalah
keterbelakangan. Karena itu, perlu diubah menjadi negara sosialis,
melalui sebuah revolusi. Kita tidak bisa menunggu sampai negara-negara
pinggiran ini mengembangkan kapitalisme seperti di Eropa, karena hal ini
tidak akan terjadi. Dalam hal ini, Frank menjadi penganut teori voluntaristik. Demikian juga para penganut Teori Ketergantungan yang lain, yang menolak teori tahapan yang deterministik dari para penganut teori Marxis klasik.
B. Implikasinya Terhadap Pembangunan Daerah
GLOBALISASI
dan desentralisasi merupakan dua isu utama yang memengaruhi tatanan
sistem perdagangan, baik dalam kegiatan produksi, pemasaran, distribusi,
dan lain-lain.
Era
globalisasi menuntut setiap pelaku ekonomi untuk meningkatkan kemampuan
bersaing, baik dalam memproduksi, memasarkan, maupun menerobos pasar
yang batas-batasnya semakin tidak jelas, serta dalam suatu kerangka
persaingan yang sangat kompetitif.
Dalam era pembangunan saat ini, bangsa indonesia dituntut untuk berkompetitif dan siap bersaing serta mampu mandiri tanpa harus tergantung
pada negara-negara maju. Sebab itu perlunya kesadaran akan hal
tersebut, negara harus lebih menekankan pembangunan yang menitip
beratkan pada pembangunan daerah sebagai basis utama dalam menghadapi
perkembangan globalisasi.
Tugas
berat ini kiranya pula berkenaan dengan konteks otonomi daerah (otoda)
yang diterapkan sejak Januari 2001. Dalam konteks ini, pembangunan otoda
yang lebih 'adil dan demokratis' bisa diterjemahkan sebagai bagian tak
terpisahkan dari tujuan otonomi dan desentralisasi, yang esensinya
dimaksudkan untuk memperjuangkan keadilan dan mewujudkan demokratisasi
di tingkat lokal.
Demikian
pula era otonomi daerah harus selaras dengan kecenderungan era
globalisasi. pemerintahan daerah tidak boleh paradoks dengan
kecenderungan globalisasi, apabila sistem ekonomi Indonesia ingin
selamat dari terpaan globalisasi ekonomi dunia.
Implementasi
kebijakan otonomi daerah dalam rangka menjawab tuntutan local dan
desakan kecenderungan arus global, perlu dicermati mengingat kondisi
masa transisi yang labil dan potensi konflik horizontal dapat menjadi
kerusuhan massal dan perpecahan bangsa. Masa transisi yang labil
memerlukan rekonsiliasi elit yang diikuti dengan pemulihan ekonomi dan
politik sampai tingkat local. Kekhawatiran tersebut mengingat selama ini
kita tidak terbiasa berbeda pendapat dan beragumen secara baik, yang
sering kita alami adalah realitas perbedaan pendapatan dan arogansi
kekuasaan.
Tuntutan
masyarakat di sejumlah propinsi untuk merdeka dan sebagian mengusulkan
diberlakukannya system federal serta sebagian besar lainnya menginginkan
otonomi seluas-luasnya, merupakan reaksi dari system sentralitas yang
berlebihan dan eksploitasi oleh pusat di bawah rezim otoriter Orde Baru.
Sementara itu muncul tuntutan masyarakat global untuk mendorong proses
pembangunan dan berkelanjutan, melalui sejumlah instrumen ekonomi
perdagangan, bantuan luar negeri dan kerjasama social budaya.
Selama
ini rezim orde baru memilih strategi pembangunan lewat modernisasi yang
meletakkan pemerintah pusat sebagai penentu, sector industri dan kota
menjadi lebih berperan dibanding sektor pertanian dan desa. Model
pembangunan sentralistik ini cenderung ingin menyeragamkan prosedur dan
standar program dan proyek pembangunan, yang direncanakan di pusat bagi
pelaksanaan di seluruh daerah.
Pemerintah
pusat begitu dominan, sedangkan pemerintah daerah hanya sebagai
pelaksanan dari kehendak pusat. Sebagai implikasi dari system
pemerintahan sentralistik ini, menyebabkan pemerintah daerah kehilangan otoritas
terhadap pengelolaan sumberdaya lokalnya dan pengembangan kepentingan
daerahnya. Aparat daerah menjadi tidak tanggap dan kreatif terhadap
aspirasi dan dinamika masyarakatnya, karena pada hakekatnya pemerintah
daerah adalah kepanjangan dari kepentingan pusat di daerah. Maka istilah
yang cocok dibawah system sentralistik adalah “Pembangunan di Daerah”,
sedangkan semangat yang ingin dikembangkan oleh system desentralisasi
adalah proses pembangunan yang sesuai dengan aspirasi masyarakat dan
karakteristik wilayah yang terwujud sebagai “Pembangunan Daerah”.
Perubahan
model pembangunan dalam rezim sentralistik menuju desentralisasi bukan
merupakan proses yang mudah. Perubahan tersebut merupakan serangkaian
perubahan sikap mental aparat birokrasi, reformasi kelembagaan dan
mekanisme hubungan pusat-daerah, pengaturan pemanfaatan atau eksploitasi
sumberdaya alam, peningkatan keuangan daerah berupa penggalian
sumberdana dan alokasi anggaran pembangunan, penguatan aparat baik dalam bentuk pendidikan maupun mobilisasi aparat pusat ke daerah.
Oleh
karena itu, tujuan dan fokus dari kebijakan otonomi daerah dalam rangka
menghadapi tuntutan global adalah bagaimana membangun daya saing
berkelanjutan dari produk-produk Indonesia di pasar internasional yang
dilandasi oleh kompetensi inti yang didukung oleh seluruh potensi yang
dimiliki bangsa Indonesia secara tersinergi baik sektoral maupun dengan
seluruh kabupaten/kota.
Kecenderungan
bisnis global membawa beberapa hal baru seperti keterkaitan secara
global, liberalisasi perdagangan dan blok perdagangan,
transnasionalisasi informasi, perkembangan teknologi yang cepat,
meningkatnya kesadaran akan nilai-nilai universal, serta munculnya isu
baru di bidang perdagangan. Adapun, kemunculan hal-hal di atas banyak
diprakarsai oleh negara-negara maju atau negara-negara kapitalis yang dapat
menjadi peluang sepanjang mampu menyesuaikan diri, namun bagi yang
tidak siap akan sebaliknya yaitu menjadi ancaman. Sayangnya, di saat
Indonesia harus dihadapkan pada suasana persaingan yang semakin keras
sebagai dampak globalisasi tersebut, ternyata peringkat daya saing
Indonesia di pasar internasional terus merosot sebagaimana yang
dinyatakan oleh World Economic Forum (WEF).
Permasalahan
yang dihadapi dalam perkembangan sektor perdagangan di Indonesia
semakin rumit karena di saat daya saing merosot dan investasi sangat
rendah ternyata banyak produk impor masuk secara ilegal yang membanjiri
pasar dalam negeri, sehingga posisi produk dalam negeri semakin
terjepit. Tidak heran, Menperindag melakukan
serangkaian tata niaga seperti gula, beras dan garam sebagai upaya
untuk menghadapi serbuan produk dari asing yang berujung pada kerugian
petani. Apesnya lagi, Deperindag dan aparat Bea Cukai kemudian harus
kebobolan ratusan ribu ton gula ilegal yang merembes lewat jaringan
organisasi yang cukup kuat.
Dalam
rangka mengimplementasikan strategi yang dimaksud, sasaran pembangunan
sektor perdagangan dalam negeri untuk jangka menengah adalah membangun
sistem distribusi nasional yang efisien dan efektif dengan pendekatan supply chain
(komoditi strategis), pengamanan pasar dalam negeri, pemberdayaan
produksi dalam negeri, peningkatan peran kelembagaan, dan peningkatan
sarana serta instrumen perdagangan.
Untuk
jangka panjang yang akan dilakukan yaitu meningkatkan perdagangan jasa
di dalam negeri yang bersaing di pasar internasional, serta membangun
merek dagang nasional yang dapat menerobos pasar internasional.
Untuk
dapat melaksanakan hal tersebut diatas maka solusi yang harus ditempuh
dengan menerapkan reformasi yang menitip beratkan pada sektor
pembangunan di daerah, agar konsep pembangunan dapat bersaing dengan
negara-negara maju, dan untuk membendung negara-negara kapitalis dalam
meronrong melalui perkembangan global dan krisis multidimensi yang
dialami oleh negara indonesia.
Reformasi
dapat membawa berkah tetapi sekaligus juga potensial membawa bencana
dalam melewati proses pembangunan kehidupan bernegara dan bermasyarakat.
Otonomi juga merupakan suatu proses perubahan
dimana partisipasi mestinya jauh lebih efektif, system manajemen
pembangunan bisa lebih efisien, dan kemandirian dapat lebih kokoh.
Prospek pengembangan otonomi secara teoritis, dapat menjawab berbagai
masalah tersebut di atas yang intinya pada keadilan dan keberlanjutan.
Ditengah pusaran arus reformasi dan situasi transisi, pertanyaan kritis
harus dikemukakan, apakah otonomi akan membuahkan berkah dan manfaat
ataukah justru akan menghadirkan dilema dan bencana disintegrasi?
Emansipasi
dan partisipasi, merupakan dasar pengembangan demokrasi yang melibatkan
seluas-luasnya partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan. Rakyat
memiliki kedaulatan atas sumberdaya wilayahnya, dapat memilih
wakil-wakil di lembaga perwakilan daerah, menentukan siapa pemimpinnya,
dan menyusun peraturan dan merencanakana pembangunannya. Otonomi ini
menuntut kesiapan para birokrat di daerah dalam memfasilitasi aspirasi
dan partisipasi masyarakat dalam mewujudkan pembangunan di daerahnya.
Harapan tersebut tentu menghadapi sejumlah kendala ditengah-tengah
pergesekan kelompok kepentingan di daerah, mengakarnya penyakit kronis
KKN, ketidaksiapan sejumlah aparat di daerah, dan kebiasaan main
perintah dan main kekuasaan dalam meng-gol-kan kepentingan
masing-masing.
Kesetaraan
dan kemitraan, merupakan dasar bagi terbentuknya hubungan social yang
adil dan terekatnya solidaritas “senasib, sepenanggungan” sebagai
bangsa. Kesetaraan antar sesama, tidak membedakan suku dan agama serta
etnis, berarti tidak menjadikan isu SARA sebagai komoditi konflik tetapi
justru memanfaatkan perbedaan tersebut sebagai potensi untuk saling
mengikat persaudaraan. “Diciptakan manusia secara bersuku-suku dan
berbeda-beda, agar saling mengenal dan bersaudara”. Namun, kenyataannya
manusia selalu ingin menang sendiri dan menganggap remeh orang lain.
Tantangan yang sedang dihadapi bersama dalam proses otonomi adalah
masyarakat sedang mengalami keretakan persaudaraan antar sesama,
penurunan kepercayaan pada pemimpin dan pemeritahnya, kemerosotan moral
dan kehilangan keteladanan.
Kompetisi dan Kompetensi, merupakan
daya untuk survival atau mempertahankan hidup bahkan merupakan
dayadukung dan dayadorong untuk berprestasi. Masyarakat local harus
mampu berkompetisi menghadapi para pendatang, demikian pula para pelaku
otonomi kecil dan menengah di daerah harus mampu berkompetensi dengan
mitra saingan besar. Tidak semua daerah memiliki sumberdaya alam yang
dapat diandalkan, namun bukti menunjukkan bahwa pembangunan dapat
bertumpu pada modal sumberdaya manusia dan sumberdaya budaya (ternasuk
teknologi, dan sistem pengelolaan) yang mampu membuat suatu wilayah
unggul dibandingkan yang lainnya.
Kemajemukan
dan keberlanjutan, kemajemukan memang merupakan kodrat alam, maka agar
dapat mencapai pembangunan yang berkelanjutan, diperlukan penghargaan
atas kemajemukan. Kemajemukan menunjukkan banyak alternatif yang berarti
setiap orang atau system atau kelompok dapat mengembangkan identitas
dan cirikhas untuk dapat saling dipertukarkan. Pembangunan dearah yang
merupakan wilayah kepulauan tidak dapat dikembangkan secara seragam
seperti pendekatan dan pengelolaan pembangunan yang selama ini
dilaksanakan. Namun kita masih menghadapi cara berfikir kaum
intelektual, cara mengatur kaum birokrat, cara berdagang pengusaha dan
cara berperilaku politisi Indonesia yang berfaham “Persatuan dan
Kesatuan”, padahal para leluhur kita merumuskan “Bhineka Tunggal Ika”
sebagai perwujudan keragaman karakteristik wilayah dan kemajemukan
sosial budaya masyarakat Indonesia.
Otonomi
mengandung sejumlah azas yang penting untuk diwujudkan pada setiap
prosesnya. Maka azas kemajemukan adalah jawaban bagi otonomi yang
menuntut pertimbangan matang kondisi (potensi) dan keadaan
(perkembangan) daerah masing-masing. Maka azas keberlanjutan harus pula
menjadi acuan otonomi, tidak hanya mempertimbangkan keadilan antar
daerah dan antar kelompok masyarakat saat ini, tetapi mempertimbangkan
pula generasi mendatang. Maka ada baiknya kita memahami kata bijak
berikut ini, “Bumi bukan warisan dari nenek moyang kita, tetapi pinjaman
dari anak cucu kita”.
Berdasar
pada uraian di atas dalam melakukan pembangunan dan pengembangan
wilayah tidak dapat hanya bertumpu pada satu atau dua faktor pengaruh
tetapi berorientasi pada proses multidimensi yang mencakup penting dalam
struktur sosial, sikap-sikap
rakyat dan lembaga-lembaga terkait. Karena pertumbuhan ekonomi semata
tidak banyak dapat menyelesaikan persoalan yang kadang-kadang mempunyai
akibat yang tidak menguntungkan.
_______________________________________________________________________________
Sumber: Artikel Pemerintahan STPDN
Sumber: Artikel Pemerintahan STPDN
Tidak ada komentar:
Posting Komentar