SELAMA ini, orang masih kerap menyamakan Ilmu
Pemerintahan dengan Ilmu Politik, Administrasi Negara, atau pun
Administrasi Publik. Padahal, antara ketiga ilmu itu berbeda satu sama
lain. Meskipun terlihat sama, sesungguhnya secara substansi ilmu-ilmu
tersebut sangat berbeda.
_____________________________________________________________________________
http://www.pelita.or.id/
Inilah yang membuat "resah", pengelola Program S3 Ilmu
Pemerintahan Unpad-IIP, Prof Dr Taliziduhu Ndraha, pria kelahiran
Nias, 18 Mei 1935, yang menamatkan pendidikan S1-nya di Fakultas
Ketatanegaraan dan Katataniagaan (FKK) Universitas Brawijaya (Unbraw),
Malang (1969). Karena itu, Taliziduhu berusaha keras untuk
memilah-milah ilmu tersebut, sehingga tampak perbedaannya, sekaligus
penggunaan dan fungsinya. Kerja kerasnya itulah, yang kemudian
melahirkan buku "Ilmu Pemerintahan Baru", atau yang ia sebut
"Kybernologi", yang diluncurkan belum lama ini di Kampus IIP, Jakarta.
Tujuan peluncuran buku tersebut, selain memberi gambaran
yang sangat jelas tentang perbedaan antara Ilmu Pemerintahan, Ilmu
Politik, Administrasi Negara dan Administrasi Publik. Adalah untuk
memberi jawaban kebingungan sementara pihak terhadap implementasi
Otonomi Daerah.
Sebagaimana kita ketahui, sejak UU No 22/1999 tentang
Pemerintahan Daerah atau yang lebih kita kenal dengan sebutan UU tentang
Otonomi Daerah (Otda) telah digulirkan, telah terjadi persepsi yang
berbeda antara keinginan Pemerintah Pusat dan tangkapan Daerah.
Itu terjadi, karena masing-masing pihak, menafsirkan
berdasarkan kepentingannya sendiri. Ini terjadi, karena UU itu memang
multitafsir. Sehingga kalau tidak jeli, tidak hati-hati, kita bisa
tergelincir olehnya. Hal inilah yang tidak diinginkan oleh mantan Dekan
FIA Untag, Jakarta itu.
Oleh karena itu, lewat buku "Ilmu Pemerintahan Baru"
atau "Kybernologi", Taliziduhu banyak berceritera, memberikan
argumentasi, dan alasan-alasan, mengapa perlunya dipisahkan antara Ilmu
Pemerintahan dengan ilmu-ilmu yang selama ini dikenal dekat ilmu
tersebut.
***
UNTUK melakukan klasifikasi semacam itu, bukanlah
pekerjaan ringan. Namun bagi Taliziduhu, yang dinobatkan menjadi Guru
Besar (Profesor) 1 Januari 1998, pekerjaan yang sangat luar biasa
beratnya itu dengan telaten dijalaninya.
"Beliau itu memang orang yang sangat luar biasa," ujar
Kepala Biro Organisasi, Humas dan Protokol (OHP), Departemen Dalam
Negeri (Depdagri) Drs I Nyoman Sumaryadi MSi kepada Pelita di
Jakarta, kemarin.
Nyoman, begitu panggilan akrab Karo OHP, tahu persis
siapa Taliziduhu itu. "Disamping pintar, beliau itu tipikal seorang
pekerja keras. Maka tak heran, banyak lahir dari tangannya karya-karya
yang fenomenal," jelas Nyoman yang mengaku "murid" Profesor Taliziduhu.
Beberapa karya Taliziduhu yang banyak menjadi acuan di
beberapa perguruan tinggi di Tanah-Air, antara lain "Teori Budaya
Organisasi" (1999), dan terakhir "Kybernologi" (2000, 2001) yang
kemudian disempurnakan (2003).
Apa komentar para mahasiswanya terhadap karya terbaru
Prof Dr Taliziduhu Ndraha tersebut? "Itu buku yang sangat bagus, dan
harus kita baca, terlebih bagi para pejabat birokrasi. Karena buku itu
memberi penjelasan yang sangat detail mengenai bagaimana sikap kita
dalam menangkap pesan globalisasi," ujar Nyoman.
Lewat buku itu, kata Nyoman, Taliziduhu dengan gamblang
menggambarkan, bagaimana seharusnya sikap pejabat birokrasi di era
demokrasi seperti saat ini. "Yang saya anggap istimewa dari buku
tersebut, karena ia memberikan konstruksi ilmu pemerintahan baru yang
sesuai dengan kebutuhan kita," katanya.
Nyoman memberikan contoh positif dari buku itu antara
lain mengenai posisi pejabat birokrasi. "Dulu, negara selalu dikaitkan
dengan kekuasaan, yang kemudian melahirkan sikap diktator otoriter,"
jelas Nyoman.
Namun oleh Taliziduhu, sekarang komposisi itu ia ubah
sesuai dengan kebutuhan manusia dalam hidup dan kehidupan bernegara.
Jika dulu birokrat ditempatkan sebagai Pangreh Praja
--penguasa--sekarang ia harus menjadi Nayaka, artinya "pelayan"
masyarakat. Alasan Taliziduhu, hal itu karena sekarang ini telah terjadi
pergeseran paradigma. Pergeseran itu terjadi setelah
diimplementasikannya Otda. Agar kita tidak tergerus oleh aturan yang
kita buat sendiri, maka mau tidak mau kita harus mengabdi dan jadi
pelayan masyarakat yang baik.
SECARA umum, pemikiran Taliziduhu, tidak saja cukup
jenius. Ia juga tergolong sangat berani. Karena ia berani membedakan dan
melepaskan diri dari kungkungan ilmu-ilmu yang selama ini mempengaruhi
sistem pemerintahan. Karena itu, tidak heran, jika oleh kalangan yang dekat
dengannya, dan juga para mahasiswanya, Taliziduhu "dinobatkan" sebagai
"Pendekar Ilmu Pemerintahan." "Saya kira, julukan pendekar untuknya
tidaklah berlebihan," ujar Nyoman. Persoalannya sekarang adalah sejauh mana kita
mengapresiasikan pikiran-pikiran mantan Dekan FISIP Universitas Islam 45
Bekasi itu, sehingga ilmu tersebut benar-benar bermanfaat dalam
memenuhi kehidupan berbangsa dan bernegara.
Disamping itu, bagaimana pula pikiran-pikiran tersebut
dapat diterima tanpa menimbulkan resistensi yang cukup berarti. Ini kita
katakan, karena seperti menjadi kebiasaan umum, setiap muncul pendapat,
muncul segera penyanggah. Celakanya, yang menyanggah kadangkala statement-nya
asal "bunyi." Akibatnya, sanggahan itu bukannya memperkaya wacana
berpikir kita. Sebaliknya, karena pendapat tadi, kita makin dibuat
bingung dan menjauh dari akar persoalan yang sebenarnya.
Berdasarkan asumsi tersebut, kita sangat berharap dan
ini juga menjadi harapan guru besar Unpad dan IIP itu adalah agar dalam
membahas sesuatu, terlebih dulu harus ada kesepahaman. Ada arena yang
membatasi persoalan.
Dengan begitu bahasan itu kemana-mana, akan terfokus dan mengena. Dan
yang tidak kalah penting dari semua itu, tentu saja jiwa besar,
sehingga harapan "Pendekar Ilmu Politik" tersebut jadi kenyataan. (arief
turatno)_____________________________________________________________________________
http://www.pelita.or.id/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar